MAKALAH
ULUM
AL-QUR’AN
OLEH :
KELOMPOK 3
KELAS : B
NAMA : IMROATUN
SOLEHAH
ISBAT
FENI SUSANTI
IMAM
SANTOSO
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2012-2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah swt. yang telah
memberikan limpahan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua, dan tak lupa
penulis sampaikan shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi besar
Muhammad SAW dan kepada keluarganya, sahabatnya, dan kita sebagai umatnya yang
setia sampai akhir zaman, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun sebagai tugas dari mata
kuliah Ulum Al-Qur’an sebagai pengetahuan untuk kita semua, dan
sebagai langkah untuk menyadari betapa pentingnya mengetahui masalah Naskh. Ucapan terimakasih penulis dihaturkan
kepada Bapak Maimun,M.HI sebagai dosen mata kuliah kami yang telah banyak
memberikan informasi dan petunjuk dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, tetapi mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua terutama bagi penulis sendiri dalam mencari ilmu, dan untuk para pembaca
dalam menambah pengetahuan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang konstruktif guna menyempurnakan makalah ini.
Pamekasan,
11 September 2012
Penulis,
iii
DAFTAR ISI
Sampul
makalah …………………………………………………….... i
Pengesahan
……………………………………………………………. ii
Kata
pengantar ……………………………………………………….. iii
Daftar
isi ………………………………………………………………. iv
BAB I Pendahuluan
………………………………………………….. 1
1.1.
Latar belakang ………………………………………….… 1
1.2.
Rumusan masalah ……………………………………….. 2
1.3.
Tujuan penulisan ……………………………………….... 2
BAB
II Pembahasan ………………………………………………..... 3
2.1. pengertian
Nasikh-Mansukh …………………………….. 3
2.2.
rukun dan syarat Naskh …………...…………………….. 4
2.3.
Macam-macam Naskh …………………………………… 4
2.4.
bentuk-bentuk Naskh ……………………………………. 6
2.5.
Pandangan ulama’ tentang naskh dalam Al-Qur’an …… 9
2.6.
mafaat mengetahui Naskh ………………………………. 14
BAB
III penutup ……………………………………………………… 15
3.1. kesimpulan
……………………………………………….. 15
DAFTAR
PUSTAKA …………………………………………………. 16
iv
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt. karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini
yang berjudul “Nasikh dan Mansukh” tepat pada waktunya.
Kami
menyadari bahwa di dalam pembuiatan makalah ini berkat bantuan ndan tuntunan
Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan teman – teman kelompok, untuk
itu dalam kesempatan ini kami menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua teman-teman yang membantu dalam pembuatan makalah
ini.
Akhir
kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Dan kami
pun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan
untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Pamekasan,
27 September 2012
Penulis,
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seandainya
(Al-Quran ini) datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan di
dalam (kandungan)-nya ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak (QS an-Nisa / 4:82).
Ayat Al-Quran tersebut di atas merupakan prinsip yang di yakini kebenarannya oleh setiap Muslim. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Dari sinilah kemudian timbul pembahasan tentang nasikh dan mansukh. Di dalam Al-Quran, kata naskh dalam berbagai bentuknya, ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam QS. Al-Baqarah/2:106, “Ayat mana saja yang kami Nasakhan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Dan juga terdapat dalam QS. ‘Araf/7:154, QS.Al-Hajj/22:52, dan QS. Al-Jatsiah/45:29
Ayat Al-Quran tersebut di atas merupakan prinsip yang di yakini kebenarannya oleh setiap Muslim. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Dari sinilah kemudian timbul pembahasan tentang nasikh dan mansukh. Di dalam Al-Quran, kata naskh dalam berbagai bentuknya, ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam QS. Al-Baqarah/2:106, “Ayat mana saja yang kami Nasakhan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Dan juga terdapat dalam QS. ‘Araf/7:154, QS.Al-Hajj/22:52, dan QS. Al-Jatsiah/45:29
Masalah
nâsikh dan mansûkh dan korelasinya dengan Al-Qur’an merupakan hal yang masih
hangat untuk dibicarakan. Pendapat seputar konsep ini dalam figh, ushul-fiqh ,
dan ulumul qur`an masih dilingkupi oleh perdebatan. Karena, sepanjang zaman,
masalah naskh ini benar-benar telah menyita perhatian para pemikir Islam.
Di
antara kajian Islam tentang hukum ( fiqh ,ushul-fiqh ) yang sampai sekarang
masih kontroversial adalah persoalan nasakh, terutama jika dihubungkan dengan
kemungkinan adanya nâsîkh-mansûkh sesama (internal) ayat-ayat Al-Qur’an.
Bahkan, dengan nada yang cukup provokatif ada yang menyatakan bahwa ide naskh
adalah ‘‘min akbar al-kawârits al-fikriyyah’’ (‘salah satu malapetaka pemikiran
terbesar’) yang menjadikan ulama salaf tergelincir dan tertipu. Akhirnya mereka
membolehkannya, bahkan mereka sampai mengatakan bahwa itu merupakan ijma‘.
Bahkan, mereka menolak imam al-Syafi‘i, yang menyatakan bahwa Sunnah tidak
me-naskh Al-Qur’an, berdasarkan klaim mereka bahwa kedua-duanya (Al-Qur’an dan
Sunnah) adalah wahyu.
Dari
pernyataan di atas secara tidak langsung sebagian ulama telah berijma’ bahwa
naskh itu ‘boleh ‘ secara akal, dan ‘terjadi’ secara pendengaran (ja’iz ‘aqlan
wa waqi’ sam’an). Dan hanya Abu Muslim al-Ashfahani saja yang menyatakan
‘boleh’, tetapi ia (naskh) bukan menjadi satu realita (tidak terjadi). Sehingga
menjadi menarik untuk telusuri karena masalah naskh ini sangat erat kaitannya
dengan istinbath al-ahkam (menyimpulkan satu hukum). Dengan demikian persoalan
nasikh dan mansukh harus benar diketahui dan dibahas secara serius.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Pengertian Nasikh dan Mansukh ?
b.
Rukun dan Syarat Naskh ?
c.
Macam – Macam Naskh ?
d.
Bentuk – Bentuk Naskh ?
e.
Pendapat Ulama tentang Naskh dalam Al-qur’an ?
f.
Manfaaat Mengetahui Naskh ?
1.3 Tujuan Penulisan
Dalam
pembuatan makalah ini kami mengharapkan pembaca dapat mengetahui dan lebih
memahami masalah Nasikh dan Mansukh sehingga tidak ada lagi kerancuan-kerancuan
mengenai hal tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Nasikh dan Mansukh
Kata
naasikh berasal dari kata naskh yang secara etimologi mengandung beberapa arti
, yaitu menghapus dan menghilangkan ( al-izaalat) , mengganti dan menukar (
at-tabdiil), memalingkan (at-tahwiil) , dan menukilkan dan memindahkan (an-naql).
Jadi naasikh adalah sesuatu yang menghapus, mengganti dan membatalkan atau yang
tidak memberlakukan . adapun mansuukh adalah sesuatu yang dihapus , diganti dan
dibatalkan atau yang tidak diberlakukan.[1]
Sedangkan
secara terminologi arti nasikh dan mansukh adalah membatalkan pelaksanaan hukum
syara dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan penghapusannya secara
jelas atau implisit (dhimni). Baik penghapusan itu secara keseluruhan atau
sebagian, menurut kepentingan yang ada. Atau melahirkan dalil yang datang
kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.[2]
Pengertian naskh secara terminologi
digolongkan ke dalam dua golongan yaitu :
1. Menurut ulama’ Mutakaddimin (abad ke 1 hingga abad ke 3 H) arti Nasikh dan Mansukh dari segi terminology mencakup :
1. Menurut ulama’ Mutakaddimin (abad ke 1 hingga abad ke 3 H) arti Nasikh dan Mansukh dari segi terminology mencakup :
a.
Pembatalan
hokum yang ditetapkan kemudian
b.
Pengecualian
hokum yang bersifat umum oleh hukium yang bersifat khusus yang datang kemudian
c. Penjelasan yang datang kemudian
terhadap hukum yang belum jelas (samar) dan penetapan syarat terhadap hukum
yang terdahulu yang belum bersyarat.
Di samping itu ada pula yang
berpendapat bahwa istilah tersebut berarti pembatalan ketetapan hukum yang
ditetapkan pada suatu kondisi tertentu oleh ketetapan lain yang berbeda akibat
munculnya kondisi lain. Misalnya, perintah agar kaum muslimin pada periode
Mekkah bersabar karena kondisi mereka lemah telah di naskh oleh adanya perintah
berperang pada periode Madinah karena kondisi mereka sudah kuat. Bahkan
ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa sebelum
Islam termasuk dalam pengertian Naskh.
2. Menurut ulama Muta`akhirin ( setelah
abad 3 H) mempersempit pengertian yang luas itu. Menurut mereka, naskh adalah
ketentuan hukum yang datang kemudian untuk membatalkan masa berlakunya hukum
terdahulu. Artinya , ketetapan hukum yang terdahulu tidak berlaku lagi dengan
adanya ketetapan hukum yang baru.
2.2 Rukun dan Syarat
Naskh
Rukun naskh
yaitu :
1. Adat naskh, adalah pernyataan yang
menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada,
2. Naskh, dalil kemudian yang menghapus
hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena
Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapusnya.
3. Mansukh, yaitu hukum yang
dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh, ‘anh, yaitu orang yang
dibebani hukum.
Syarat-syarat
Naskh yaitu :
1. Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
2. Pembatalan itu datangnya dari
tuntutan syara’.
3. Pembatalan hukum tidak disebabkan
oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang
kewajiban berpuasa tidak berarti di naskh setelah selesai melaksanakan puasa
tersebut.
4. Tuntutan yang mengandung naskh harus
dating kemudian.[3]
2.3 Macam –
Macam Naskh
1.
Al-Qur`an
dengan al-Qur`an
Bagian ini disepakati kebolehannya
dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh .
misalnya ayat tentang idah empat bulan sepuluh hari. Allah swt. berfirman
Artinya : ” Dan orang – orang yang
akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri ,hendaklah berwasiat
untuk istri-istrinya , (yaitu ) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan
tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri)
, maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan
mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri mereka . Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”. (QS.al-Baqarah/2:240)
Artinya : ” Orang orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri istri (hendaklah para
istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian
apabila telah habis masa idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa
yang kamu perbuat ”.( QS.al-Baqarah/2: 243)
Ada
yang berpendapat bahwa ayat pertama muhkam, sebab ia berkaitan dengan pemberian
wasiat bagi istri jika istri itu tidak keluar dari rumah suami dan tidak kawin
lagi. Sedangkan ayat ke dua berkenaan dengan masalah idah. Dengan demikian maka
tidak ada pertentangan antara kedua ayat itu.
2.
Al-Qur’an
dengan Sunnah
Naskh
ini ada dua macam yaitu:
a.
Naskh al-Qur`an denga Hadits Ahad
Jumhur ulama berpendapat bahwa al-qur`an tidak boleh dinaskh oleh hadits adad , karena al-qur`an adalah mutawatir dan menunjukan yakin , sedangkan hadits ahad dzanni , bersifat dugaan , disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma`lum (jelas diketahui) dengan yang madznun (diduga).
Jumhur ulama berpendapat bahwa al-qur`an tidak boleh dinaskh oleh hadits adad , karena al-qur`an adalah mutawatir dan menunjukan yakin , sedangkan hadits ahad dzanni , bersifat dugaan , disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma`lum (jelas diketahui) dengan yang madznun (diduga).
b.
Naskh al-Qur`an dengan Hadits Mutawatir
Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing masing keduanya adalah wahyu dan naskh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan. Allah berfirman
Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing masing keduanya adalah wahyu dan naskh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan. Allah berfirman
Artinya : “ Dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An-Najm/53: 3-4)
Artinya :
“ Keterangan –keterangan (mu`jizat) dan kitab kitab. Dan kami turunkan kepadamu
al-Qur`an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (QS.an-Nahl/16:44)
3. Sunnah dengan al-Qur’an
Naskh ini dibolehkan oleh jumhur
ulama. Misalnya masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan
sunnah dan di dalam al-qur`an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya.
Ketetapan itu dinaskh oleh al-qur`an dengan firmannya :
Artinya : “ Sungguh kami (sering)
melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke
kiblat yang kamu sukai . Palingkanlah mukamu kea rah masjidil haram . Dan di
mana saja kamu berada , palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang
orang (yahudi dan nasrani) yang diberi al-Kitab (taurat dan injil) memang
mengetahui, bahwa berpaling ke masjidil haram itu adalah benar dari tuhannya
dan Allah sekali kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan (QS.
Al-Baqarah/2:144)
4. Sunnah dengan Sunnah
Naskh dalam kategori ini terdapat
empat bentuk :
a. Sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir
b. Sunnah ahad dengan sunnah ahad
c. Sunnah ahad dengan mutawatir
d. Sunnah mutawatir dengan sunnah ahad
Bentuk a,b dan c diperbolehkan
sedangkan bentuk d terjadi silang pendapat seperti halnya naskh al-qur’an
dengan hadits ahad, yang tidak diperbolehkan oleh jumhur ulama.[4]
2.4 Bentuk –
Bentuk Naskh
Naskh dalam al-qur’an dibagi ke
dalam 4 jenis :
1. Naskh Sarih, yaitu ayat-ayat yang
secara tegas menghapuskan hokum yang terdapat dalam ayat terdahulu. Misalnya
QS. Al-anfal : 65-66, ayat tentang perang yang mengharuskan perbandingan antara
muslim dan kafir adalah 1 : 10 di-naskh dengan ayat yang mengharuskan hanya 1 :
2 dalam masalah yang sama.
Artinya : ” Hai Nabi, kabarkanlah semangat para mu`min itu
untuk berperang , jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang(yang
sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang orang
kafir, disebabkan orang orang kafir itu kaum yang tidak mengerti (65).
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah
mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang
yang sabar niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika ada di
antaramu seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu
orang dengan izin Allah . Dan Allah beserta orang orang yang sabar”. (QS.
Al-anfal / 8 : 65-66).
2. Naskh dimmi, yaitu bila ada
ketentuan hukum ayat yang terdahulu tidak bisa dikompromikan dengan ketentuan
hukum ayat yang datang kemudian dan ia menasakh ayat yang terdahulu . Misalnya,
ayat tentang kewajiban wasiat kepada ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat
waris.
3. Naskh Kulli , yaitu menasakh hukum
ynag datang sebelumnya secara keseluruhan . Misalnya ketentuan hukum Idah satu
tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang di-naskh dengan idah 4
bulan 10 hari.
Artinya : ” Orang orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan istri istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa idahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat”. (QS. Al-baqarah/2:234).
4. Naskh Juz’i, yaitu menaskh hukum
yang mencakup seluruh individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu ,
atau menasakh hukum yang bersifat mutlak dengan hokum yang bersifat mubayyad
(terbatas).
Artinya : ” Dan orang orang menuduh wanita wanita yang baik
baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi , maka
deralah mereka (orang yang menuduh itu) delapan puluh kali dera. Dan janaganlah
kamu terima kesaksian mereka buat selama lamanya. Dan mereka itulah orang orang
fasiq (4). Kecuali orang –orang yang bertaubat sesudah itu , dan memperbaiki
(dirinya) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang
orang yang menuduh istrinya(berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi
saksi selain diri mereka sendiri , maka persaksian orang itu adalah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang orang yang
benar”. (QS. An-Nur /24: 4-6)
QS. An-Nur /24: 4 di atas menyatakan bahwa orang yang menuduh seorang wanita berzina tanpa menghadirkan 4 orang saksi hukumnya didera 80 kali. Ayat 4 dari surat an-Nur di atas di-naskh oleh ayat 6 ayat yang menjelaskan bahwa jika menuduh itu suminya sendiri, maka hukumnya tidak didera tetapi dilakukan saling sumpah antara keduanya.
Naskh al-Qur’an dari segi tilawah dan hukumnya terbagi
menjadi 3 macam :
1. Naskh Tilawah dan Hukum
Naskh terhadap tilawah dan hokum : Misalnya apa yang diriwaytkan
oleh Muslim dan yang lainnya dari Aisyah, ia bersabda :
كَانَ فِيْمَا اُنْزِلَ عَشَرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ
يُحَرِمْنَ فَنُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ فُتُوُفِيَّ رَسُوْلُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :[وَهُنَّ مِمَّا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ]
” Di antara yang diturunkan kepada beliau adalah ’sepuluh susuan (hisapan) yang maklum itu menyebabkan mukhrim’, kemudian (ketentuan ) ini dinaskh oleh Lima susuan yang maklum’, maka ketika Rasulullah wafat ’lima susuan’ ini termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca (matlu).”
” Di antara yang diturunkan kepada beliau adalah ’sepuluh susuan (hisapan) yang maklum itu menyebabkan mukhrim’, kemudian (ketentuan ) ini dinaskh oleh Lima susuan yang maklum’, maka ketika Rasulullah wafat ’lima susuan’ ini termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca (matlu).”
Kata kata Aisyah ” lima susuan ini termasuk ayat al-qur`an
yang dibaca ”, pada lahirnya menun jukkan bahwa tilawahnya masih tetap. Tetapi
tidak demikian halnya, karena tidak terdapat dalam mushaf usmani. Kesimpulan
demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah
ketika belian menjelang wafat
2. Naskh Hukum dan TilawahnyaTetap
Naskh hukum dan tilawahnya tetap, misalnya naskh hokum ayat
idah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Jenis kedua inilah pada
hakikatnya sangat sedikit sekali, meskipun banyak yang menghitung banyak ayat
berkenaan dengan ini. Para muhaqqiqîn, seperti al-Qâdhî Abu Bakar ibn al-‘Arabî
telah menjelaskan hal ini dan beliau merupakan orang yang membahas secara
tuntas. Untuk jenis yang kedua ini, beliau banyak menyebutkan sebanyak 20 ayat
yang mansûkhah (dihapus) hukumnya tanpa bacaannya. Namun demikian, beliau
banyak menggunakan kata-kata qîla (dikatakan), yang mengindikasikan riwayat
yang lemah.
3. Naskh Tilawah dan HukumnyaTetap
Untuk naskh macam ini contohnya ayat rajam
اَلشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ اِذَا زَنَيَا فَرْجُمُوْهُمَا
اَلْبَتَّةَ بَكَالَا مِنَ اللَّهِ . وَاللَّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya: “ Orang tua laki laki dan perempuan apabila keduanya berzina , maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Artinya: “ Orang tua laki laki dan perempuan apabila keduanya berzina , maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
2.5 Pendapat Ulama
Tentang Naskh dalam Al-qur’an
Pembahasan tentang nasikh dan
mansukh yang muncul dalam kajian ilmu tafsir merupakan masalah yang mengundang
perdebatan di kalangan para ulama. Kontroversi yang timbul bertolak dari
bagaimana memahami dan menghadapi ayat ayat al-qur`an yang pada lahirnya
kelihatan saling berlawanan. Segolongan ulama berpendapat bahwa ada ayat ayat
yang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, dan dengan demikian ada naskh
dalam al-Qur`an. Sebaliknya, segolongan ulama lainnya berpendapat bahwa ayat
ayat yang dikatakan tampak bertentangan bisa dikomoromikan dan dengan demikian
tidak ada naskh dalam al-qur’an.
1. Ulama yang mengakui Nasikh dan
mansukh
Jumhur (mayoritas) ulama mengakui adanya nasikh dan mansukh , antara lain
Jumhur (mayoritas) ulama mengakui adanya nasikh dan mansukh , antara lain
a.
Imam Syafi`i
Imam Syafi`i mengakui adanya naskh dalam al-Qur`an berdasarkan Firman Allah :
Imam Syafi`i mengakui adanya naskh dalam al-Qur`an berdasarkan Firman Allah :
Artinya : ” Ayat mana saja yang kami nasakh-kan , atau kami
jadikan (manusia) lupa kepadanya , kami datangkan yang lebih baik dari padanya
atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu ?” (QS. Al-baqarah/2:106)
Artinya : ” Dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat
ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang
diturunkan-Nya, mereka berkata ” Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada
ada saja .”Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.”(QS.an-Nahl/16: 101)
Berkaitan denga kandungan surat al-Baqarah ayat 106
tersebut, para mufassir (ahli tafsir) member komentar.
b.
Ibnu Kasir
Ibnu
Kasir dalam kitab tafsirnya menyatakan : ” sesungguhnya rasio tidak ada alasan
yang menunjukkan tidak adanya naskh (Pembatalan) dalam hukum-hukum Allah,
karena Allah menetapkan hukum menurut kehendakNya dan melakukan apa saja yang
dikehendakiNya.”
c. Al-Maragi
c. Al-Maragi
Al-Maragi dalam kitab tafsirnya melihat adanya hikmah
keberadaan naskh dengan menyatakan : ” Sesungguhnya hukum – hukum itu tidak
diundangkan kecuali untuk kepentingan manusia. Hal ini dapat berbeda karena
berbeda waktu dan tempat . Jika suatu hukum diundangkan karena dirasakan perlu
adanya hukum itu, kemudian keperluan itu berakhir, maka adalah suatu tindakan
bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih
sesuai dengan waktu itu . Dengan demkian hukum lebih menjadi lebih baik dari
yang semula atau sama dari segi manfaat untuk hamba-hamba Allah.”
d. Muhammad Rasyid Rida
Muhammad Rasyid Rida dalam tafsirnya menjelaskan: ”
Sesungguhnya hukum itu dapat berbeda karena perbedaan waktu, tempat dan
lingkungan, serta situasi . Apabila suatu hukum diundangkan pada suatu waktu
karena kebutuhan pada hukum itu, kamudian hukum itu tidak dibutuhkan lagi pada
waktu lain , maka adalah suatu tindakan bijaksana membatalkan hukum itu dan
menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu.”
e.
Sayid
Qutub
Sayid Qutub berpendapat bahwa ayat itu merupakan sanggahan
terhadap pendirian orang –orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka
dan menolak ajaran Islam dengan alasan bahwa Allahg SWT tidak mungkin
menghapuskan hukum –hukum-Nya dalam Taurat. Selain itu mereka menuduh bahwa
Nabi Muhammad SAW tidak konsisten, baik mengenai perpindahan kiblat dari
Masjidilaqsa ke Masjidilharam , maupun perubahan – perubahan petunjuk, hukum,
dan perintah yang akan terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam
menurut situasi dan kondisi mereka yang berkembang yang baru.
f. Manna Khalil al-Qattan
Manna
Khalil al-Qattan berpendapat bahwa apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu
masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Perjalanan dakwah pada taraf
pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanan sesudah memasuki era
perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri` pada suatu periode
akan berbeda dengan hikmah tasyri` pada periode yang lain . Oleh karena itu
wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri’ dengan tasyri’ yang lain untuk
menjaga kepentingan para hamba-Nya.
Menurut pendukung adanya naskh,
naskh baru dilakukan jika :
1) Terdapat dua ayat hukum yang saling
berlawanan dan tidak dapat dikompromokan
2) Harus diakui meyakinkan urutan turunnya
ayat ayat tersebut, yang lebih dahulu turun
ditetapkan
sebagai mansukh dan yang kemudian sebagai nasikh
3) Hukum yang mansukh tidak bersifat
abadi, tetapi bersifat sementara . karena itu hanya ayat-ayat tertentu yang
bisa di naskh.
Ayat ayat yang tidak bisa di-naskh
adalah :
1) ayat ayat yang mengandung hukum
pokok yang tidak bisa berubah dengan sebab berubahnya situasi dan kondisi
manusia, seperti ayat yang berkaitan dengan akidah, ibadah, keadilan, dan
amanah
2) Ayat –ayat yang secra tekstual
menunjukkan ketentuan hukumnya berlaku sepanjang masa (abadi)
3) Ayat – ayat yang berisi berita yang tidak mengandung perintah dan larangan seperti kabar tentang umat-umat terdaulu.
3) Ayat – ayat yang berisi berita yang tidak mengandung perintah dan larangan seperti kabar tentang umat-umat terdaulu.
2 . Ulama yang menolak nasikh dan
mansukh
Ulama yang menolak adanya nasikh dan mansukh dalam al-Qur`an antara lain :
a. Abu Muslim al-Asfahani (tokoh mu`tazilah)
b. Imam ar-Razi
c. Muhammad Abduh
d. Dr.Taufiq Sidqi
e. Muhammad Khudari Bek
f. Muhammad Abduh
Ulama yang menolak adanya nasikh dan mansukh dalam al-Qur`an antara lain :
a. Abu Muslim al-Asfahani (tokoh mu`tazilah)
b. Imam ar-Razi
c. Muhammad Abduh
d. Dr.Taufiq Sidqi
e. Muhammad Khudari Bek
f. Muhammad Abduh
Alasan penolakan mereka didasarkan
pada ayat-ayat al-Qur`an yang sama yang dikemukakan oleh kelompok pendukung
naskh, dengan perbedaan penafsiran. Alasan –alasan mereka adalah sebagai
berikut :
1)
Kandungan surat al-Baqarah ayat 106 yang oleh kelompok pendukung naskh
dijadikan sebagai argumentasi adanya naskh dalam al-Qur`an, menurut mereka
ditujukan kepada kaum Yahudi yang mengingkari al-Qur`an atau merujuk pada wahyu
yang diturunkan sebelum al-Qur`an yang akhirnya digantikan oleh al-Qur`an .
Artinya hukum-hukum yang terdapat dalam kitab kitab suci sebelum al-Qur`an
diganti dengan yang lebih baik , ayitu al-Qur`an. Kandungan surat an-Nahl ayat
: 101 dilihat dari segi turunnya ditujukan kepada orang orang kafir yang tidak
mempercayai kerasulan Muhammad SAW karena hukum hukum yang ada di dalam
al-Qur`an berlainan dengan hukum hukum dalam Taurat dan Injil. Menurut mereka
kalau al-Qur`an benar benar datang dari Allah SWT, maka pasti tidak akan
berbeda dari isi kitab kitab sebelumnya. Untuk itulah Allah SWT menjawab bahwa
Dia lebih tahu apa yang maslahat buat hamba-hambaNya untuk setiap zaman.
2)
Jika dalam al-Qur`an ada ayat yang dimansukh, berarti didalam al-Qur`an
terdapat kesalahan dan saling berlawanan , padahal al-Qur`an sendiri telah
menegaskan :
Artinya ” Yang tidak datang
kepadanya (al-Qur`an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang
diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”. (QS.
Fush-shilat/41:42)
3)
Rasulullah sendiri tidak pernah mengatakan adanya naskh dalam al-Qur`an.
Seandainya ada, sudah tentu ia akan menjelaskannya.
4) Hadits – hadits yang dikatakan oleh
pendukung naskh dinilai sebagai pe-nasikh ayat al-qur`an, seperti hadits ”
Tidak ada wasiat bagi penerima waris ” (HR.Bukhari , Abu Daud , Attarmidzi,
An-Nasai, Ibnu Majah, Darul-Qutni, dan Ahmad Bin Hanbal) bukanlah hadits
mutawatir melainkan hadits ahad yang tidak sederajat dengan al-Qur`an , dan
hadits ahad tidak punya kualifikasi untuk menjadi hujjah dalam menetapkan hukum
sesuatu.
5) Dikalangan pendukung naskh sendiri
tidak ada kesepakatan dalam menentukan jumlah ayat ayat yang mansukh. Misalnya
, menurut an-Nuhas terdapat 100 ayat lebih yang mansukh, asy-Syuyuti 20 ayat,
sedangkan asy-Syaukani berhasil mengkompromikan 8 ayat dari 20 ayat yang oleh
asy-Syuyuti tidak dikompromikan. Ini tidak berarti ada sebagian ayat yang oleh
sebagian ulama dipandang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, ternyata
dapat dikompromikan oleh ulama lain. Karena itu kelompok penolak adanya naskh
membuktikan kemampuan mereka dalam mengkompromikan ayat ayat yang oleh
pendukung naskh dinilai kontradiktif. Bahkan sebagian usaha mereka itu telah
diterima secara baik oleh pendukung naskh.
Karena kontroversi itu maka jalan terbaik adalah
mengkompromikan kedua kelompok ulama tersebut yaitu dengan jalan meninjau
kembali pengertian istilah naskh yang di kemukakan oleh ulama muta`akhirin
sebagaimana mereka meninjau pengertian dari ulama mutakaddimin.
Untuk usaha ini pemikiran Muhammad Abduh dalam menafsirkan
ayat ayat al-Qur`an dapat dijadikan sebagai titik tolak. Ia menolak adanya
naskh dalam pengertian ” Pembatalan”, tetapi ia dapat menerima dalam arti
at-Tabdil ( pengertian / pengalihan / pemindahan ayat hukum di tempat ayat
hukum yang lain ). Dengan demikian pengertian istilah naskh adalah pengertian
atau pemindahan dari satu wadah ke wadah lain , dalam arti semua ayat al-Qur`an
tetap berlaku, tidak ada yang kontradiktif dan yang dibatalkan . Hanya saja
terjadi pengertian hukum bagi masyarakat /orang tertentu karena adanya kondisi
yang berbeda. Namun demikian, ayat hukum yang tidak berlaku bagi masyarakat
dalam satu kondisi dapat berlaku bagi masyarakat lain yang kondisinya sama
dengan kondisi mereka semula. Pemahaman demikian akan sangat membantu dalam
pengembangan hukum islam. Sehingga ayat ayat hukum bertahap tetap dapat
diberlakukan oleh mereka yang kondisinya sama atau serupa dengan kondisi umat
Islam pada awal masa perkembangan masa Islam.
2.6 Manfaat
Mengetahui Naskh
Pengetahuan
tentang nasikh dan mansukh sangat besar manfaatnya bagi bagi para ahli ilmu,
terutama fuqaha, mufassir dan ahli ushul, agar pengetahuan tentang hukum tidak
kacau dan kabur. Oleh sebab itu terdapat banyak asar (perkataan sahabat atau
tabiin) yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Mereka harus mengetahui
keterangan keterangan yang tegas yang pernah disampaikan oleh Rasulullah dan
para sahabanya, harus mengetahui ayat yang posisinya sebagai nasikh dan
mansukh, dan juga harus mengetahui ayat mana yang turun lebih dahulu dan datang
kemudian.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Jadi
naskh secara garis besar adalah penghapusan atau penggantian hukum yang ada
dalam al-qur’an dengan hokum yang baru dengan syarat hokum atau hal yang
diganti harus lebih rendah atau maksimal sama dengan hukum yang baru.
Nasikh adalah hukum yang
menghapus, sedangkan Mansukh adalah hukum yang dihapus. Serta naskh mempunyai macam
– macam sebagai berikut
1.
Al-Qur`an
dengan al-Qur`an
2.
Al-Qur’an
dengan Sunnah
3. Sunnah dengan al-Qur’an
4. Sunnah dengan Sunnah
Serta
adapula bentu-bentuk naskh yang di bagi menjadi empat yaitu :
1.
Naskh
Sarih
2.
Naskh
dimmi
3.
Naskh
Kulli
4.
Naskh
Juz’i
a.
Saran
– Saran
Kita sebagai umat islam
harus memahami dan menerapkan serta mengamalkan pengetahuan tentang nasikh dan
mansukh sehingga kita tidak lagi ragu dan bingung dengan hal-hal tersebut agar
tidak ada lagi persengketaan dan perpecahan dikarnakan belum benar-benar memahami
mengenai hal-hal tersebut.
Selanjutnya sangat kami
sadari bahwa makalh yang kami buat ini jauh dari kesempurnaan maka dari itu
kami butuh kritik dan saran yang konstruktif/membangun dari segenap pembaca
yang budiman.
DAFTAR
PUSTAKA
Rosihan. Anwar.Prof.Dr. Ulumul Qur’an 2007. Bandung
Muhammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an
Drs. Ahsin w. al-hafidz, M.A, kamus ilmu al-qur’an
[1] .
lihat kamus ilmu al-qur’an karya Drs. Ahsin w. al-hafidz. M.A hlm.177
[2] .
lihat studi ilmu al-qur’an karya Muhammad nor ichwan hlm 105
[3] Lihat
buku Ulum Al-Qur’an karya prof. Dr. Rosihon Anwar, M. Ag. Hlm.165
[4]
Lihat buku Ulum Al-Qur’an karya prof. Dr. Rosihon Anwar, M. Ag. Hlm. 173
Tidak ada komentar:
Posting Komentar