MAKALAH
SUMBER-SUMBER
AJARAN ISLAM
OLEH :
KELOMPOK 2
KELAS : B
NAMA : ISBAT (18201201030072)
AULIA RAHMAWATI (18201201030036)
FASIHAH (182012010300)
FENI SUSANTI (18201201030057)
DEWI PURNAMA SARI (182012010300)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2012-2013
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Assalmu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirobbil alamin
segala puja dan puji syukur kami
haturkan kepada Allah SWT. yang
telah memberikan beberapa kenikmatan yang berupa Iman, Islam dan kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah dengan judul sumber-sumber
ajaran islam.
Salawat dan salam semoga tetap
tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW. Rasul yang terahir yang telah membawa kita
dari alam jahiliyah menuju alam ilmiyah yang penuh barakah ini.
Selanjutnya kami mengcapkan banyak
terima kasih kepada dosen pengampu yang terhormat bapak Drs.
Moh. Mashur abadi, M.Fil.I. yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada kami, sehingga makalah
ini dapat terselesaikan.
Taklupa kami haturkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam penulisan makalah ini ,
begitu juga kami mohon maaf apabila dalam penulisan ini terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan sehingga saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan.
Billahitaufiq Walhidayah
Summassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pamekasan,
19 September 2012
Penulis,
i
DAFTAR ISI
Kata
pengantar ……………………………………………………….. i
Daftar
isi ………………………………………………………………. ii
BAB I Pendahuluan
………………………………………………….. 1
1.1.
Latar belakang ………………………………………….… 1
1.2.
Rumusan masalah ……………………………………….. 1
1.3.
Tujuan penulisan ……………………………………….... 1
BAB
II Pembahasan ………………………………………………..... 2
2.1. Pengertian Agama Islam
…………………………………… 2
2.2.
Sumber –Sumber Ajaran Islam..…………………………….. 4
A. Al-Qur’an……………………………………………………………………….……… 4
1. Keautentikan Al-Qur’an ……………………………………………….. 6
B. Sunnah ………………………………………………………………………………... 12
1.
Keaotentikan
As-Sunnah (Al-Hadits)……………………………..
13
C. Ijtihad
………………………………………………………………………………….. 18
D. Ijma’
……………………………………………………………………………………. 18
E. Qiyas
…………………………………………………… 19
BAB
III penutup ……………………………………………………. 20
3.1. kesimpulan
……………………………………………… 20
3.2.
saran …………………………………………………….. 20
DAFTAR
PUSTAKA ………………………………………………. 21
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sebagai agama terakhir, Islam diketahui memiliki karakteristik yang khas
dibandingkan dengan agama-agama yang datang sebelumnya. Melalui berbagai
literatur yang berbicara tentang Islam dapat dijumpai uraian mengenai
pengertian agama Islam, dan juga sumber hukum islam dan ajarannya serta cara
untuk memahaminya. Dalam upaya memahami ajaran Islam, berbagai aspek yang
berkenaan dengan Islam itu perlu dikaji secara seksama, sehingga dapat
menghasilkan pemahaman Islam yang komprehensif. Hal ini penting dilakukan,
karena kualitas pemahaman keislaman seseorang akan mempengaruhi pola pikir,
sikap, dan tindakan keislaman yang bersangkutan. Kita barangkali terikat
terhadap kualitas keislaman seseorang yang benar-benar komprehensif dan
berkualitas. Untuk itu uraian di bawah ini diarahkan untuk mendapatkan
pemahaman tentang Islam.
1.2. Rumusan Masalah
- Apa definisi islam?
- Apa saja sumber-sumber ajaran islam?
- Bagaimana keotentikan masing-masing sumber?
1.3. TUJUAN
1.
Umum
agar dapat mengetahui pengertian Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad, Ijma’ dan
Qiyas serta kekuatan hujjah masing-masing sumber.
2.
Khusus
Memberikan masukan dan tambahan ilmu pengetahuan kepada para pembaca
khususnya rekan STAIN pamekasan serta pada generasi penerus bangsa ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Agama Islam
Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama
Islam, yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian
tentang ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Dari segi kebahasaan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima
yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya
diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam
kedamaian.
Senada dengan pendapat di atas, sumber lain mengatakan bahwa Islam
berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat
sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memelihara
dalam keadaan selamat sentosa dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh,
dan taat. Kataaslama itulah yang menjadi kata Islam yang mengandung arti segala
arti yang terkandung dalam arti pokoknya. Oleh sebab itu, orang yang berserah
diri, patuh, dan taat disebut sebagai orang Muslim. Orang yang demikian berarti
telah menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri, dan patuh kepada Allah Swt.
Orang tersebut selanjutnya akan dijamin keselamatannya di dunia dan akhirat.
Dari pengertian kebahasaan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama
yang berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan.
Pengertian Islam demikian itu, menurut Maulana Muhammad Ali dapat dihami dari
firman Allah yang terdapat pada ayat 202 surat AI-Baqarah yang artinya, Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya,
dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu.
Dari uraian di atas, kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa kata Islam
dari segi kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan herserah diri
kepada Tuhan dalam upaya mencari keselamatan dan kebaliagiaan hidup, baik di
dunia maupun di akhirat. Hal demikian dilakukan atas kcsadaran dan kemauan diri
sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari
fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak clalam kandungan sudah menyatakan
patuh dan tunduk kepada Tuhan.
Dengan demikian, perkataan Islam sudah menggambarkan kodrat manusia
sebagai makhluk yang tunduk dan patuh kepada "I'uhan”. Keadaan ini membawa
pada timbulnya pemahaman terhadap orang yang tidak patuh dan tunduk sebagai
wujud dari penolakan terhadap fitrah dirinya sendiri. Demikianlah pengertian
Islam dari segi kebahasaan sepanjang yang dapat kita pahami dari berbagai
sumber yang dikemukakan para ahli.
Adapun pengertian Islam dari segi istilah akan kita dapati rumusan yang
berbeda-beda. Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa Islam menurut istilah
(Islam sebagai agama), adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan
kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul. Islam pada
hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenal satu segi, tetapi
mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.
Sementara itu Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama
perdamaian; dan dua ajaran pokoknya, yaitu keesaan Allah dan kesatuan atau
persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata, bahwa agama Islam selaras benar
dengan namanya. Islam bukan saja dikatakan sebagai agama seluruh nabi Allah,
sebagaimana tersebut pada beberapa ayat kitab suci Al-quran, melainkan pula
pada segala sesuatu yang secara tak sadar tunduk sepenuhnya kepada
undang-undang Allah, yang kita saksikan pada alam semesta.
Berdasarkan pada keterangan tersebut, maka kata Islam menurut istilah
adalah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah
Swt. bukan berasal dari manusia, dan bukan pula berasal dari Nabi Muhammad Saw.
Posisi Nabi dalam agama Islam diakui sebagai yang ditugasi oleh Allah untuk
menyebarkan ajaran Islam tersebut kepada umat manusia. Dalam proses penyebaran
agama Islam, nabi terlibat dalam memberi keterangan, penjelasan, uraian, dan
contoh praktiknya. Namun keterlibatan ini masih dalam batas-batas yang
dibolehkan Tuhan.
Dengan demikian, secara istilah Islam adalah nama bagi suatu agama yang berasal
dari Allah Swt. Nama Islam demikian itu memiliki perbedaan yang luar biasa
dengan nama agama lainnya. Kata Islam tidak mempunyai hubungan dengan orang
tertentu atau dari golongan manusia atau dari suatu Negeri. Kata Islam adalah
nama yang diberikan oleh Tuhan sendiri. Sebagaimana firman Allah yang Artinya:
“Sesungguhnya agama yang di ridhoi Allah di sisinya adalah agama islam”[1]
Demikian dapat dipahami dari petunjuk ayat-ayat Alquran yang diturunkan
oleh Allah Swt. Selanjutnya, dilihat dari segi misi ajarannya, Islam adalah
agama sepanjang sejarah manusia. Agama dari seluruh Nabi dan Rasul yang pernah
diutus oleh Allah Swt. pada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok manusia. Islam
itulah agama bagi Adam as, Nabi Ibrahim, Nabi Ya'kub, Nabi Musa, Nabi Daud,
Nabi Sulaiman, dan Nabi Isa as. Hal demikian dapat dipahami dari ayat-ayat yang
terdapat di dalam Alquran yang menegaskan bahwa para nabi tersebut termasuk
orang yang berserah diri kepada Allah.
2.2. Sumber –Sumber Ajaran Islam
Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang
utama adalah Al-qur’an dan Al-Sunnah serta beberapa
sumber-sumber yang lain seperti Ijtihad, Qiyas dan Ijma’;
sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk memahami Alquran, Al-Sunnah,
Ijtihad, Qiyas dan Ijma’. Beberapa ketentuan ini sesuai dengan agama Islam itu
sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah Swt. yang penjabarannya dilakukan
oleh Nabi Muhammad Saw. Di dalam Al-qur’an surat An-Nisa ayat 156 kita
dianjurkan agar menaati Allah dan Rasul-Nya serta Ulil Amri (pemimpin).
Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya ini mengandung konsekuensi ketaatan kepada
ketentuan-Nya yang terdapat di dalam Alquran, dan ketentuan Nabi Muhammad Saw.
yang terdapat dalam hadisnya. Selanjutnya ketaatan kepada Ulil amri atau
pemimpin sifatnya kondisional, atau tidak mutlak, karena betapapun hebatnya
Ulil Amri itu, ia tetap manusia yang memiliki kekurangan dan tidak dapat
dikultuskan. Atas dasar inilah mentaati ulil Amri bersifat kondisional. Jika
produk dari ulil Amri tersebut sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya maka
wajib diikuti, sedangkan jika produk dari Ulil Amri tersebut bertentangan
dengan kehendak Tuhan, maka tidak wajib menaatinya. Penjelasan mengenai sumber
ajaran Islam tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.
A. Al-Qur’an
Di kalangan para ulama telah sepakat bahwa al-qur’an adalah sumber ajaran
islam yang sangat valid atau sah. Adapun
pengertian Alquran dari segi istilah dapat dikemukakan berbagai pendapat
berikut ini.
Pendapat para ulama pada umumnya yang menyatakan bahwa Alquran adalah
firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dan dinilai ibadah bagi
yang membacanya. Pengertian demikian senada dengan yang diberikan Al-Zarqani.
Menurutnya Alquran adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. mulai
dari awal surat Al-Fatihah, sampai dengan akhir surat Al-Nas.
Pengertian Alquran secara lebih lengkap dikemukakan oleh Dr. Bakri Syaikh
Amin “alquran adalah kalamullah sebagai mukjizat yang diturunkan pada penutup
para nabi dan rasul (nabi muhammad saw) dengan perantara al-amin (Jibril As),
ditulis dalam mushaf, terpelihara dalam dada-dada manusia, disampaikan secara
mutawattir, bacaannya diberi nilai ibadah, di mulai dengan surat al-fatihah dan
di ahiri dengan surat An-Nas”.[2]
Berkenaan dengan definisi tersebut, maka berkembanglah studi tentang
Alquran baik dari segi kandungan ajarannya yang menghasilkan kitab-kitab tafsir
yang disusun dengan menggunakan berbagai pendekatan, maupun dari segi metode
dan coraknya yang sangat bervariasi sebagaimana yang kita jumpai saat ini.
Selain itu ada pula yang meneliti Alquran dari segi latar belakang
sejarah dan sosial mengenai turunnya yang selanjutnya menimbulkan apa yang
disebut Ilmu Asbab al-Nuzul. Dalam pada itu ada pula yang mengkhususkan diri
mengkaji petunjuk cara membaca Al-quran yang selanjutnya menimbulkan ilmu
qira'at termasuk pula Ilmu Tajwid. Dan ada pula ulama yang mengkaji Al-quran
dari segi sejarah penulisannya, nama-namanya, dan masih banyak lagi. Semua itu
dilakukan para ulama dengan maksud agar ummat Islam dapat mengenal secara
menyeluruh berbagai aspek yang berkenaan dengan Alquran.
Selanjutnya Alquran juga mempunyai fungsi, diantaranya adalah :
Ø
Al- Huda (petunjuk)
bahwa al-qur’an adalah petunjuk bagi kehidupan manusia disamping sunnah
Rasul yang merupakan yang kedua yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia.
Ø
Al-Furqan (pembeda)
Sebagaimana firman Allah “Bulan Ramadhan adalah bulan yang
diturunkannya al-qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelas mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yan batil)..(QS.
Al-Baqarah : 185).
Ø
Al-Syifa (obat)
Sebagaimana firman Allah “Hai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada….(QS. Yunus : 57).
Ø
Al-Mau’izhah (nasihat)
Sebagaiman firman Allah “Al-Qur’an ini adalah penerangan bagi seluruh
manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi yang bertaqwa”. (QS. Ali Imran :
38).
1.
Keautentikan Al-Qur’an
“inna nahnu nazzalnadhdhikro wa inna lahu
lahaafiduun”
(QS. Al-Hijr : 9)
Itu lah
janji allah kepada kita semua allah-lah yang akan menjaga al-qur’an dari
berbagai hal yang akan mengganggu atau menghancurkannya, allah menurunkan
al-qur’an kepada nabi ahiruz zaman (nabi mahammad saw.) sebagai mukjizat yang
paling hebat yang tidak akan penah tertandingi oleh apapun dan siapapun di
dunia ini sebagimana firman allah dalam surah al-isro’ ayat 88 yang berbunyi “katakanlah
“sesungguhnya jika manusia da jin berkumpul untuk membuat yang serupa(dengan)
al-qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun
merka saling membantu satu sama lain”
Dari
statement di atas jelaslah bahwa tidak akan pernah ada seorangpun yang akan
mampu untuk membuat dan menandingi al-qur’an sekalipun semua jin dan manusia
berkumpul untuk membuat karya yang seperti al-qur’an dan tidak akan ada yang
mampu untuk merusak atau merubah al-qur’an karna allah sudah berjanji untuk
menjaga al-qur’an sendiri, artinya al-qur’an itu benar-benar murni dari allah
tanpa ada kesalahan,
perubahan dan campur tangan manusia. Untuk membuktikan keotentikan
Al-Qur’an kita bias mengetahuinya dengan meneliti redaksi Al-Qur’an, isi
(kandungan Al-Qur’an) serta serta sejarah Al-Qur’an.
a) Redaksi atau Kontek Al-Qur’an
Redaksi Al-Qur’an
merupakan salah satu bukti keotentikan Al-Qur’an karna redaksi atau kontek Al-Qur’an merupakan literatur bahasa tertinggi[3]
baik dari dari gramaticalnya dan keindahan bahasanya bukan Cuma itu saja
lafadz-lafadz dalam kontek atau redaksi Al-Qur’an sangatlah indah dan penuh dengan penafsiran yang tidak
terbatas. Para ahli sastra baik dari Indonesia ataupun dari Negara-negara lain
mengakui bahwa redaksi atau kontek Al-Qur’an merupakan susunan sastra
tertinggi yang pernah ada sepanjang sejarah. dan Al-Qur’anpun tidak memiliki
kecacatan dalam redaksinya baik dalam pemilihan katanya, susunan gramatikalnya
dan keindahannya ketika dibaca karena ketika seseorang membaca atau
mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an pasti dia tidak akan merasa bosan.
Dan dari pengakuan ahli-ahli tersebut, jelas
Al-Qur’an ini bukanlah buatan manusia karena tidak mungkin ada seorang manusia
yang mampu menciptakan sesuatu tanpa ada kekurangan atau kecacatan didalam
karyanya. Akan tetapi tidak demikian dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an tidak memiliki
kecacatan atau kekurangan didalamnya, karena Al-Qur’an bukanlah ciptaan manusia
akan tetapi ciptaan Allah SWT tuhan semesta alam. Seperti firman Allah yang
berbunyi: “ma farrotna fil kitabimin syai’in” Dan dari bukti-bukti di atas jelas bahwa
Al-Qur’an memang benar-benar otentik dan benar-benar dari Allah tuhan semesta
alam.
Bukan Cuma itu
saja Al-Qur'an menggambarkan dirinya sendiri sebagai sebuah kitab yang
"diturunkan" Tuhan kepada Nabi, ungkapan
kata "diturunkan" atau anzalna dalam berbagai bentuk digunakan lebih
dari 200 kali. Secara intrinsik, ini berarti bahwa konsep dan isi al-Qur'an
benar-benar diturunkan dari langit. Sebagaimana dalam beberapa ayat yang lain,
Tuhan juga menurunkan besi, mizan (keadilan, keseimbangan, harmoni) dan
8 pasang binatang ternak. Al-Qur'an diturunkan secara bertahap dalam berbagai
peristiwa yang memakan waktu 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Ia dikutip langsung
dari catatan di Lauh Mahfuzh, yang berarti Kitab Utama atau bermakna
"Pusat Arsip".
Al-Qur'anpun
berpandangan bahwa bacaan tersebut tersusun rapi, sempurna dan tidak ada yang
ketinggalan. Ia dalam penggambarannya sangat unik. Nabi pun kadang-kadang
dikritik dan ditegur dalam beberapa peristiwa. Al-Qur'an juga selalu
menyisipkan ayat-ayat tertentu, seperti "intan yang berkilauan",
dalam pelajaran metafisisnya. Ia mendesak pembaca agar menggunakan kemampuan
intelektualnya, mengenali isyarat isyarat ilmiah berupa "intan yang
berkilauan", tanda-tanda kebesaran Pencipta melalui alam semesta, sumber
Metafisis Tertinggi. Muslim modern mengatakan ada sekitar 900 ayat yang memuat
tanda-tanda ini, dari total 6.236 ayat. Hanya 100 ayat yang berbicara persoalan peribadatan, dan puluhan ayat yang membahas
masalah-masalah pribadi, hukum perdata, hukum pidana, peradilan dan kesaksian. Al-Qur'an cara yang berbeda dalam penyajiannya, bisa
saja membahas masalah keimanan, moral, ritual, hukum, sejarah, alam,
antisipasi masa mendatang, secara sekaligus dalam satu surat. Ini memberikan
daya persuasi yang lebih besar, karena semua berlandaskan keimanan kepada Tuhan
Yang Esa dan Hari Akhir. Jumlah surat dalam al-Qur'an ada 114, nama-nama tiap
surat, batas-batas tiap surat dan susunan ayat-ayatnya merupakan ketentuan yang
ditetapkan dan diajarkan oleh Nabi sendiri.
b) Isi atau Kandungan Al-Qur’an
Bukan Cuma redaksinya saja yang menunjukkan bahwa
Al-Qur’an ini berasal dari Allah tapi juga dari isi atau kandungannya. Karena
kandungan yang ada dalam Al-Qur’an semuanya terbukti kebenarannya seperti dalam
surat Al-Furqon 25:53 yang menceritakan tentang dua macam air yang tidak bisa
bercampur dikarenakan ada barzah yang menghalangi kedua air itu untuk
bercampur.[4]
Dan ketika para ilmuan meneliti hal itu terbukti benara dua macam air tersebut
memang tidak bisa bercampur karna ada unsur-unsur kimia yang bereaksi diantara
keduanya.[5]
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila ada dua macar air yang memiliki
unsur dan massa berbeda maka salah satu dari air tersebut kehilangan unsure
pokoknya sehingga kedua air tersebut tidak bias bercampur. Dalam Al-Qur’an
haltersebut di sebut barzah atau rintangan yang tidak terlihat.[6]
Bukan cuma itu saja Al-Qur’anpun juga terbukti kebenaran-kebenarannya dalam berbagai bidang
ilmu umum dan ilmu pengetahuan. Contohnya dalam bidang astronomi, Al-Qur’an
juga membuktikan ke otentikan dan kebenarannya dalam surah
al-anbiyak 20:33, yang berbunyi: “dialah
yang menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari
keduanya itu beredar dalam garis edarnya. ( surah al-anbiyak 20:33)
Dari ayat tersebut nampaklah bahwa Al-Qur’an
itu benar dan autentik. Karna di
zaman yang sudah moderen ini para ilmuan telah meneliti matahari yang
sebelumnya di anggap Cuma diam dan tidak berputar ternyata matahari juga
berputar mengelilingi porosnya sendiri sebagaimana yang telah dikatakan dalam
Al-Qur’an. Dan masih bayak lagi bukti-bukti kebenaran Al-Qur’an yang sudah
membuat para ilmua-ilmuan masuk islam dikarnakan merka menemukan kebenaran yang
sejati dalam al-qur’an. Jadi keautentikan Al-Qur’an tidak dapat di ragukan lagi
oleh siapapun didunia ini sebab al-qur’an sudah terbukti kebenarannya dari dulu
sampek sekarang.[7]
c)
Sejarah-Sejarah
Pembukuan Dan Penulisan Al-Qur’an
Pada awal Islam,
bangsa Arab adalah bangsa yang buta huruf, hanya sedikit yang pandai menulis
dan membaca. Bahkan beberapa di antaranya merasa aib bila diketahui pandai
menulis. Karena, orang yang terpandang pada saat itu adalah orang yang sanggup
menghafal, bersyair, dan berpidato. Waktu itu belum ada "kitab".
Kalaupun ada hanyalah sepotong batu yang licin dan tipis, kulit binatang, atau
pelepah korma yang ditulis. Termasuk kutub, jamak kitab, yang dikirim oleh Nabi
kepada raja-raja di sekitar Arab, sebagai seruan untuk masuk Islam.
Setiap kali turun
ayat, Nabi menginstruksikan kepada para sahabat untuk menghafalnya dan
menuliskannya di atas batu, kulit binatang dan pelepah korma.
Hanya ayat-ayat al-Qur'an yang boleh ditulis. Selain ayat-ayat al-Qur' an,
bahkan termasuk Hadis dan ajaran-ajaran Nabi yang didengar oleh para sahabat,
di larang untuk dituliskan, agar antara isi al-Qur'an dengan yang lainnya tidak
tercampur.
Setiap tahun,
malaikat Jibril, utusan Tuhan mengulang (repetisi) membaca ayat-ayat al-Qur'an
yang telah diturunkan sebelumnya di hadapan Nabi. Pada tahun Muhammad saw
wafat, yaitu tahun 632 M, ayat-ayat al-Qur' an dibacakan dua kali dalam setahun.6 Ini menarik sekali, karena seolah-olah akhir tugas dan
kehidupan Nabi di dunia ini telah diantisipasi akan selesai.
Pada masa khalifah
pertama, Abu Bakar, banyak terjadi peperangan melawan orang-orang yang murtad
dan para nabi palsu. Di antara mereka yang gugur dalam peperangan banyak
penghafal ayat-ayat al-Qur'an. Umar bin Khaththab mengusulkan untuk
mengumpulkan para penghafal al-Qur'an, disuruh membacakan al-Qur’an,
menjadikan satu, meneliti dan menulis ulang. Kumpulan itu yang ditulis oleh
Zaid bin Tsabit, mushaf, berupa lembaran-lembaran yang diikat menjadi satu,
disusun berdasarkan urutan ayat dan surat seperti yang telah ditetapkan oleh
Nabi sebelum wafat. Sedangkan pada masa Utsman bin Affan, tentara Muslim telah
sampai ke Armenia, Azerbajan di sebelah Timur dan Tripoli di sebelah barat.
Kaum Muslim terpencar di seluruh pelosok negeri, ada yang tinggal di Mesir, Syria, Irak, Persia dan Afrika. Naskah beredar
di manamana, tetapi urutan surat dan cara membacanya beragam, sesuai dialek
di mana mereka tinggal. Hal ini menjadikan pertikaian antarkaum Muslim
sehingga menjadikan kekhawatiran pemerintahan Utsman. Maka kemudian Utsman
membentuk panitia untuk membukukan ayat-ayat al-Qur'an dengan merujuk pada
dialek suku Quraisy, sebab ayat al-Qur'an diturunkan dengan dialek mereka,
sesuai dengan suku Muhammad saw. Buku tersebut diberi nama al-Mushaf,
ditulis lima kopi dan dikirimkan ke empat tempat: Mekkah, Syria, Bashrah, dan
Kufah. Satu kopi disimpan di Medinah sebagai arsip dan disebut Mushaf
al-Imam.
Walaupun telah
disatukan dan diseragamkan, namun tetap cukup banyak al-Qur'an di Afrika dengan
dialek berbeda, termasuk jumlah ayat yang "berbeda" karena perbedaan
membaca dalam pergantian nafas (6.666 ayat), tetapi isinya tetap sama.
Awalnya, pada zaman Nabi, al-Qur'an memakai dialek Quraisy, tetapi kemudian
berkembang menjadi tujuh dialek non-Quraisy. Pada mulanya, ini dimaksudkan agar
suku-suku lain lebih mengerti. Ada juga aliran tersendiri (kelompok kecill,
pimpinan Dr. Rashad Khalifa, kelahiran Mesir, seorang ahli biokimia dan
matematika, yang mempromosikan jumlah ayat 6.234, berbeda 2 ayat dengan naskah
Ustman, 6.236 ayat.
Sedangkan
mayoritas Muslim, baik Sunni maupun Syi ah tetap berpegang teguh pada naskah awal yang dikumpulkan semasa Khalifah Ustman,
yaitu dialek Quraisy, hingga kini. Perbedaan kecil ini, menjadi sasaran kritik
para Orientalis, bahwa al-Qur’ an tidak asli lagi, karena telah ada campur
tangan manusia dalam transmisinya. Walaupun demikian, sebagian di antara
mereka, seperti Gibb, Kenneth Cragg, John Burton, dan Schwally dalam bukunya Mohammedanism,
The Collection of the Qur’an , The Mind of the Qu'ran, dan Geschichte des Qorans, mengakui bahwa "sejauh pengetahuan
kita, kita bisa yakin bahwa teks wahyu telah ditransmisikan sebagaimana apa
yang telah diberikan kepada Nabi".
1. Di Mana Mushaf Utsmani
Disimpan?
Banyak pertanyaan,
di mana copy yang diberikan oleh Khalifah Utsman disimpan? Apakah masih ada?
Menurut penjelasan The Institute of
Islamic Information and Education of America, naskah tadi disimpan di
Museum Tashkent di Uzbekistan, Asia Tengah. Sedangkan hasil copy
fax ada di Perpustakaan Universitas Columbia di Amerika Serikat. Keterangan lebih lanjut menjelaskan
bahwa copy tersebut sama dengan apa yang dimiliki pada zaman Nabi.
Duplikat copy yang dikirimkan ke Syria pada masa Utsman juga
masih ada di Topkapi Museum Istambul, duplikat ini dibuat sebelum terjadi
kebakaran pada tahun 1892 yang menghancurkan mesjid Jami, di mana mushaf
tersebut berada. Naskah yang lebih tua bisa ditemukan di Dar al-Kutub, Kesultanan Mesir.
Sangat menarik, terdapat naskah yang disimpan di Perpustakaan Kongres di
Washington, Chester Beatty Museum di Dublin (Irlandia) dan Museum di London-isinya tidak berbeda dengan
apa yang terdapat di Mesir, Uzbekistan dan Syria. Sebelumnya juga terdapat
42.000 koleksi naskah kuno disimpan Institute for Koranforshung, University of
Munich di Jerman. Namun, ketika Perang Dunia II, koleksi ini hancur
karena dibom.
Sejauh ini, berkat
upaya para sahabat Nabi dan atas pertolongan Tuhan Yang Maha Esa, isi
al-Qur'an, sejak zaman Nabi hingga sekarang tetap sama. Namun demikian,
pertanyaan lainnya muncul. Jika ini semua otentik sesuai dengan aslinya,
bagaimana kita yakin bahwa al-Qur'an berasal dari "Sumber Metafisis
Tertinggi"? Sebagian besar kaum Muslim sangat yakin bahwa al-Qur'an
adalah asli dari Tuhan, karena al-Qur'an sendiri yang mengatakan demikian;
misalnya saja, Surat an-Nisa' (4:82); al-An'am (6:19); (6:92); an-Naml (27:6);
al-Jatsiyah (45:2). Sebagian Muslim lainnya baru percaya setelah
membaca dan memahami isinya dengan baik, berpikiran jernih, dan mau membuka
hati dengan hal-hal yang baru. Tetapi dapat dipahami pula, karena
"sumbernya dari dalam", bagi orang luar yang skeptis, pendapat apa saja dimungkinkan. Oleh karena itu, bagi
orang luar, bukan kalangan Muslim atau siapa saja, pilihannya adalah salah satu
dari lima kemungkinan yang "mengarang al-Qur'an".
1) Pertama, Nabi Muhammad saw.
2) Kedua, para pujangga-ilmuwan Arab dan
kumpulan cerita dari berbagai sumber.
3) Ketiga, merupakan jiplakan dari
kitab suci Injil dan Taurat.
4) Keempat, buatan makhluk asing.
5) Dan kelima, dari Tuhan.
Al-Qur'an berpandangan bahwa tidak
ada paksaan dalam beragama. Ia mengatakan bahwa percaya atau tidaknya seseorang
terhadap isi al-Qur'an, semata-mata karena hidayah Allah. Hidayah diberikan
bagi yang mau berpikir jernih dan berprasangka baik.
B. Sunnah
Para ulamak sepakat bahwa
Sunnah merupakan sumber
ajaran Islam (syari’ah) dan
ketentuan-ketentuanya mengenai halal
dan haram selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits
juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat
untuk menetapkan tentang wajib mengikuti Hadits, baik pada masa Rasulullah
masih hidup maupun setelah beliau wafat.[8]
Menurut bahasa Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan
tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Adapun pengertian Sunnah sebagai berikut “cara-cara hidup nabi muhammad sehari-hari”. Dan cara-cara hidup ini menyangkut atau
mengenai perkataan sebagai ucapannya (disebut juga sunnah al-qouliyah), sunnah
perbuatan (disebut juga sunnah al-fi’liyah) dan keadaan diam (disebut jga
sunnah taqririyah)”[9]
Selain kata As-Sunnah
yang pengertiannya sebagaimana disebutkan di nas, kita juga menjumpai kata
Al-Hadis, Al-Khabar dan Al-Atsar. Oleh sebagian alama kata-kata tersebut
disamakan artinya dengan Al-Sunnah, dan oleh sebagian ulama lainnya kata-kata tersebut dibedakan artinya. Menurut
sebagian alama yang disebut belakangan ini Al-Sunnah diartikan sebagai sesuatu
yang dibiasakan oleh Nabi Muhammad SAW., sehingga sesuatu itu lebih banyak
dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW. daripada ditinggalkan. Sementara itu hadits
adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik berupa ucapan,
perbuatan maupun ketetapan namun jarang dikerjakan oleh Nabi. Selanjutnya
khabar adalah ucapan, perbuatan dan ketetapan yang berasal dari sahabat; dan
atsar adalah ucapan, perbuatan dan ketetapan yang berasal dari para tabi'in.
Sementara itu Jumhur Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis
mengartikan Al-Sunnah, Al-Hadits, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik dalam bentuk
ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Pengertian ini didasarkan kepada pandangan
mereka terhadap nabi sebagai suri teladan yang baik bagi manusia. Sementara itu
ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi
Muhammad SAW. dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan persetujuan beliau yang
berkaitan dengan hukum. Pengertian ini didasarkan pada pandangan mereka yang
menempatkan Nabi Muhammad SAW. sebagai pembuat hukum.
Dari informasi singkat tersebut kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa
perhatian para ulama untuk melakukan studi hadis sudah demikian luas, walaupun
terkesan bersifat teknis dan kurang mencoba menjelaskan hubungan hadits dengan
berbagai persoalan yang dihadapi umat. Namun demikian, uraian tersebut secara
garis besar telah membuka jalan bagi para peneliti berikutnya yang akan
melakukan penelitian terhadap hadits.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki
fungsi yang diantaranya adalah:
Ø
Untuk memperkuat Al-Qur’an
Ø Menjelaskan
isi Al-Qur’an (bayan tafsir)
1.
Keaotentikan As-Sunnah (Al-Hadits)
Keotentikan Al-Hadits bisa
kita teliti dari sejarah pengumpulan, penulisan dan pembukuan hadits yang
sangat teliti dalam memilih dan mengelompokkan hadits menjadi beberapa kelompok
seperti hadits mutawattir, hadits ahad dan hadits-hadits yang lainnya.
Pengumpulan hadits yang sangat teliti tersebut mencari atau mendatangi para
sahabat nabi yang hafal hadits-hadits. Akan tetapi bukan sebarang sahabat atau orang
hafal hadits yang di datangi atau yang dicari tapi para penghafal hadits yang
memenuhi kriteria penghafal hadits. Seperti:, orang yang hafal hadits harus
orang yang takwa, adil, jujur, bijaksana dan sebagainya, dan apa bila salah
satu kriteria tersebut tidak terdapat dalam diri penghafal hadits tersebut,
maka hadits yang dia hafal tidak akan di ambil karena ia tidak memenuhi kriteria
para penghafal hadits. Karena apabila tidak ada kriteria-kriteria khusus,
dihawatirkan akan banyak orang-orang yang mengaku ahfal hadits atau memalsukan
hadits. Kenapa hal tersebut dilakukan? Karena khawatir atas adanya hal-hal yang
tidak diinginkan. karna dengan persyaratan yang seperti diatas orang-orang
jahat tidak akan bisa untuk memalsukan hadits-hadits dari rosulullah.
a) Sejarah Pembukuan Dan Penulisan
Adapun dalam perkembangan penulisan hadits telah dicoba mengelompokkannya
kedalam beberpa periode, seperti yang dirumuskan oleh M Hasbi Asyiddiqi yang
membagi kedalam beberaa periode pada masa Nabi dan sahabat, yaitu pada
abad pertama, M Hasbi Asyiddiqi membagi menjadi tiga periode.[10]
1) Periode
Pertama (Masa Rasulullah SAW)
Pada periode pertama para sahabat
langsung mendengarkan dari Rasulullah SAW atau dari sahabat lain, karena para
sahabat tersebar di penjuru negri, ada yang di Dusun, dan ada yang di kota.
Adakalanya diterangkan oleh istri-istri rasul seperti dalam masalah kewanitaan
dan rasulullah SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menghapal dan
menyebarkan hadits-haditsnya diantara sabda beliau yang diriwayatkan Bukhari
dan Muslim
”Dan
ceritakanlah dariadaku, tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang
kamu dengar daripadaku. Barang siapa yang berdusta terhadap diriku, hendaklah ia
bersedia menempati kedudukannya di neraka.”
Perlu diketahui
bahwa dalam menyampaikan hadits dilakukan dengan dua cara :
- Dengan lafadz asli, yakni menurut laafadz yang mereka dengar dari rasulullah Saw.
- Dengan makna saja, yakni hadits tersebut disampaikan dengan mengemukakan makna saja, tidak menurut lafadz seperti yang diucapkan Nabi.
Kecuali
itu, pada masa Rasulullah SAW sudah ada catatan hadits-hadits beliau seperti
Abdullah bin Amru, dan pernah suatu waktu Rasulullah SAW berkhutbah, setelah
seorang dari yaman datang dan berkata. ”Ya Rasulullah tuliskanlah
untukku”,tulislah Abu Syah ini.[11]
Kembali kepada
pelarangan Rasulullah SAW dalam penulisan hadits. Tujuan Rasulullah adalah agar
al-Qur’an tidak bercampur dengan apapun, termasuk erkataan beliau sendiri.
Ketika menemukan ternyata ada sahifah-sahifah berisi hadits pada masa
Rasulullah SAW kita tidak akan berani mengatakan bahwa para sahabat
menghiraukan perintah Rasulullah SAW. Setelah diteliti ternyata ada hadits yang
menyatakan bolehnya penulisan hadits, seperti sabda Rasulullah saw yang
diriwayatkan Abu Daud;
”Tulislah,
maka jiwaku yang berada ditangan-Nya tidaklah keluar dari mulutku kecuali
kebenaran”
Hadits ini
terlihat kontradiktif dengan hadits sebelumnya, berikut ini adalah pendapat
para ulama untk mengkomromikan kedua hadits ini;
- Bahwa larangan menulis hadits itu, telah dimansukh oleh hadits yang memerintahkan menulis
- Bahwa larangan itu bersifat umum, sedang untuk beberapa sahabat khusus diizinkan
- Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan mencampur adukannya denga al-Qur’an, sedangkan keizinan menulis ditujukan kepada mereka yang dijamin tidak akan mencampuradukannya.
- Bahwa larangan itu dalam bentuk kodifikasi secara formal seperti mushaf al-Qur’an, sedang untuk diakai sendiri tidak dilaarang.
- Bahwa larangan itu berlaku pada saat wahyu-wahyu yang turun belum dihafal dan dicatat oleh para sahabat, setelah dihafal dan dicatat, menulis hadits diizinkan.
2) Periode
Kedua (Masa Khalifah Rasyidah)
Pada masa erintahan
Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., pengembangan hadits tidak begitu pesat, hal ini
disebabkan kebijakan kedua khalifah ini dalam masalah hadits, mereka
menginstruksikan agar berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Bahkan khalifah
Uimar r.a dengan tegas melarang memperbanyak periwayatan hadits. Hal ini
dimaksudkan agar al-Qur’an terpelihara kemudiannya dan ummat Islam memfokuskan
dirinya dalam pengkajian al-Qur’an dan penyebarannya.
Hakim
meriwayatkan; pernah suatu malam Abu Bakar r.a merasa bimbang sekali, pagi
harinya ia memanggil putrinya Aisya r.a dan meminta kumpulan hadits yang ada
padanya lalu Abu Bakar membakarnya.
Lain halnya ada
masa khalifah Utsman dan Ali r.a, mereka sedikit memberi kelonggaran dalam
mengembangkan hadits tetapi mereka masih sangat berhati-hati agar tidak
bercampur dengan al-Qur’an, Khalifash Ali r.a, melarang penulisan selain
al-Qur’an yang sesungguhnya ditujukan untuk orang-orang awam, karena beliau
sendiri memiliki sahiofah yang berisi kumpulan hadits.[12]
3) Periode
Ketiga ( Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar)
Setelah
berakhirnya masa pemerintahan Ali r.a, ummat Islam dilanda fitna besar, dimana
mereka terpecah menjadi 3 golongan; Golongan pendukung Ali (syi’ah), golongan
pendukung Muawiyah dan golongan Khawarij.
Dalam perkembangannya
golongan-golongan ini mulai memalsukan hadits dengan tujuan membenarkan
golongan mereka dan menjatuhkan golongan lain. Hal ini mendorong para sahabat
dan tabi’in lebih berhati-hati dalam meriwatkan dan mengumpulkan hadits. Tapi
walau bagaimanapun belum ada kodifikasi secara formal.
Abad pertama
seluruhnya mencakup masa sahabat, sebab sahabat-sahabat yang banyak
meriwayatkan hadits meninggal pada abad pertama Hijriyah ini, walaupun ada yang
meninggal sesudah itu. Tidak dipungkiri bahwa pada abad pertama penulisan
hadits yang dilakukan oleh tabi’in juga sudah ada. Oleh karena itu perlu
dipisahkan antara hadits-hadits yang di tulis oleh para Sahabat dan
hadits-hadits yang ditulis oleh Tabi’in. Dalam pembahasan ini akan dikhususkan
pada tulisan para Sahabat.
Disini akan
dituliskan nama-nama sahabat, serta kegiatan mereka berkenaan dengan penulisan
hadits, serta tahun mereka lahir dan kapan wafatnya. Hal ini penting kita
ketahui dalam pembahasan sejarah penulisan hadits.
1)
Abu umamah al-Bahili
Nama aslinya Shudai bin ’Ajlan, RA (10 SH - 81 H). Beliau termasuk yang
berpendapat membolehkan penulisan hadits. Hadits-hadits beliau ditulis oleh
al-Qasim al-Syami.[13]
2)
Abu Ayyub al-Ansari
Nama aslinya Khalid bin Zaid, RA. (w. 52 H) beliau menulis beberapa
hadits Nabi dan dikirimkan kepada kemanakannya, seperti yang dituturkan dalam
kitab Musnad Imam Ahmad[14].
Cucu beliau, yaitu Ayyub bin Khalid bin Ayyub al-Ansari juga meriwayatkan 112
hadits. Yang biasanya hadits yang banyak semacam ini dalam
lembaran-lembaran(shahifah).
3)
Abu Bakar al-Siddiq, RA. ( 50 SH – 13 H)
Dalam suratnya kepada Anas bin Malik, gubernur Bahrain, Abu Bakar
mencantumkan beberapa hadits tentang wajibnya membayar zakat bagi orang-orang
Islam[15].
Abu bakar juga berkirim surat kepada ’Amr bin al-’Ash, dimana dalam surat itu
dicantumkan beberapa hadits Nabi[16].
4)
Abu Bakrah al-Tsaqafi
Nama sebenarnya Nufa’i bin
Masruh (w. 51 H). Beliau menulis surat kepada anaknya yang menjadi hakim di
Sijistan, dimana beliau mencantumkan beberapa hadits berkaitan dengan peradilan.[17]
Dan masih banyak lagi sahabat-sahabat lain yang juga ikut berperan penting
dalam sejarah pembukuan dan penulisan hadits seperti,
1.
Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, wafat tahun 150 H di Mekah.
2.
Ma’mar bin Rasyid, wafat tahun 153 di Yaman.
3.
Abu Amr Abdur Rahman al Azwa’i, wafat tahun 156 H di Syam.
4.
Sa’id bin Abi Arubah, wafat tahun 151 H.
5.
Rabi’ bin Sabih, wafat tahun 160 H.
6.
Hammad bin Abi Salamah, wafat tahun 176 H di Basrah.
7.
Muhammad bin Ishak wafat tahun151 H.
8.
Imam Malik bin Anas, wafat tahun 179 H di Madinah.
9.
Abu Abdullah Sufyan as Sauri, wafat 161 H di Kuffah.
10.
Abdullah bin Mubarak, wafat 181 H di Khurasan.11. Hasyim bin Basyir, wafat
tahun 188 H di Wasit.
12.
Jarir bin Abdul Hamid. Wafat tahun 188 H.
13.
Al Lais bin Sa’d, wafat tahun 175 H di Mesir.
Oleh kaerena itu, kita tidak perlu lagi
ragu atas keotentikan hadits, karena hadis bukan dikumpulkan dengan sembarangan
hadits dikumpulkan dan ditulis melalui proses-proses yang sangat aman dan tidak
bisa di palsukan oleh orang nonmuslim.
C. Ijtihad
Ijtihad Secara Bahasa berasal dari kata jahada. Kata ini beserta
seluruh variasinya menunjukan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit
dilakukan dan yang tidak disenangi. Kata ini pun berarti kesanggupan (Al-Wus’),
kekuatan (At-Thaqah) dan berat (Al-musyaqqah).
1.
Bersifat adil dan taqwa
2.
Memahami Al-Qur’an dan al-hadits. Kalau tidak memahami
salah satunya, maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad. Hal ini
menjadi syarat utama karena ijtihad hanya boleh dilakukan apabila telah
diketahui bahwa tidak ada penjelasan dalam Al-Qur’an atau Al-Hadis.
3.
Mengetahui hokum-hukum yang telah ditetapkan oleh ijma’.
Sehingga ia tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan ijma’, kalau ia
berpegang pada ijma’ dan memandangnya sebagai dalil.
4.
Mengetahui serta memahami bahasa arab. Mujtahid juga
harus memahami lafadz-lafadz zhahir, mujmal, yang hakikat, yang mahmuz, am,
khas, muhkam, mutasyabihat, mutlaq, muqayyat, mantuq dan mufham. Semua ini
perlu untuk memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits.
5.
Mengetahui ilmu ushul fiqh dan dan harus menguasai ilmu
ini dengan kuat, karena ilmu ini menjadi dasar dan pokok Ijtihad. Hendaknya
seorang Mujtahid menguasai ilmu ushul fiqh ini sehingga sampaikepada kebenaran,
dengan demikian ia mudah mengembalikan soal-soal cabang kepada soal-soal pokok.
6.
Mengetahui nasikh dan mansukh. Sehingga ia tidak
mengeluarkan hukum berdasarkan dalil yang sudah dimansukh.
D.
IJMA’
Seiring dengan perkembangan
zaman ada beberapa hal atau peristiwa baru yang tidak terjadi di masa rosul dan
terjadi di masa sekarang ini seperti:
1. Ijma’
tentang pengangkatan abu bakar menjadi kholifah karena mengqiyaskan kepada penunjukan
abu bakar oleh rosulullah menjadi imam sholat ketika nabi berhalangan.[18]
2. Jumhur
ulamak sepakat bahwa adil itu hanya dapat dinilai secara lahiriyah tidak secara
batiniah.[19]
Sedangkan pengertian ijma’
sendiri yaitu secara bahasa ijma’ berarti memutuskan, dan menyepakati ijma’
berasal dari benda verbal (masdar) dari bahasa arab ajma’a.[20]
Sedangkan menurut istilah ijma’ adalah kebulatan pendapat (sensus) para ulamak
besar pada suatu masa dalam merumuskan suatu yang baru sebagai hukum islam dan
tolak pangkal perumusannya didasarkan pada dalil-dalil yang terdapat dalam
al-qur’an dan hadis.[21]
Selain itu Ijma’ juga merupakan sumber hukum ajaran islam selain al-qur’an dan
sunnah.
E. Qiyas
Meskipun al-qu’an, hadis dan
ijma’ sudah ada akan tetapi selalu saja ada hal-hal atau peristiwa baru yang
terjadi sehingga menimbulkan kebingungan-kebingungan dalam memutuskan hukum
bagi hal atau peristiwa baru tersebut sehingga munculah qiyas. contohnya,
menurut qur’an dan hadis arak hukumnya haram karna memabukkan. Sehingga di
analogikan bahwa setiap minuman yang memabukkan hukumnya haram seperti, wiski,
vodka, bier dan lainya.[22]
Pengertian qiyas bisa dilihat
dari dua segi , yaitu;
1. Menurut logika, qiyas artinya mengambil
suatu kesimpulan khusus dari dua kesimpulan umum sebelumnya (syllogisme).
2. Menurut hukum islam, qiyas artinya
menetapkan suatu hukum dari masalah baru yang belum pernah disebutkan hukumnya
dengan memperhatikan masalah yang lama yang sudah ada hukumnya yang mempunyai
kesamaan pada segi alasan dari masalah baru itu.
Dalam kaitan ini, hadist berfungsi memerinci petunjuk dan isyarat
Al-qur’an yang bersifat global, sebagai pengecuali terhadap isyarat Al-qur’an
yang bersifat umum, sebagai pembatas terhadap ayat Alquran yang bersifat mutlak
dan sebagai pemberi informasi terhadap suatu kasus yang tidak di jumpai dalam
Al-qur’an.
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Setelah kita menjabarkan mulai dari pengertian dari agama sampai dengan
sumber-sumber hukum agama islam maka dapatlah kita simpulkan bahwa agama islam
yang merupakan nama “islam” itu sendiri alah Allah lah yang membuat nama agama
tersebut sesuai dengan firmannya yang terdapat dalam Surah Ali Imron : 19 dan
Allah hanya meridhoi agama islam. Kemudian, mengenai sumber-sumber hukum islam
dapat kita simpulkan bahwa segala sesuatu yang berkenaan dengan ibadah,
muamalah, dan lain sebagainya itu berlandaskan Al-qur’an yang merupakan Firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara mutawatir dan ditrunkan
melalui malaikat Jibril dan membacanya dinilai Ibadah, dan Al-Sunnah sebagai
sumber hukum yang kedua yang mempunyai fungsi untuk memperjelas isi kandungan
Al-qur’an dan lain sebagainya.
3.2. Saran
Saran dari penulis adalah marilah kita menjadikan Al-qur’an, As-Sunnah,
ijtihad, Ijma’ dan Qiyas sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari kita yang
merupakan sumber hukum agama islam dan sekaligus pembawa kita kedalam kehidupan
yang bahagia baik itu di dunia maupun diakhirat kelak nanti.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Nata, Abuddin, M.A. Metodologi
Studi Islam
Nasutin, Harun, Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspeknya
Drs. Hakim, Abd, Atang., MA. Dr. Jaih Mubarok, Metodologi
Studi Islam
Hakim. Abd. Atang. Dr. H.
metodelogi studi islam. 2006. Remaja rosda karya.
Departemen agama RI. Al-Qur’an
Hadits. 2006. Semarang. PT. karya toha putra.
Anwar. Rosihon. Ulum Al-Qur’an.
2007. Bandung.
Hefni, Moh. M. Ag. Buku ajar
sejarah pemikiran hokum islam didunia muslim. 2006. Pamekasan.
Hallaq. Wael B. sejarah teori hukum
islam. 2001. Jakarta. PT. raja grafindo persada.
Nata. Abuddin. Dr. metodologi studi
islam. 1998. Jakarta. PT. raja grafindo persada.
[1] QS. Ali Imron : 19
[2] Lihat al-qur’an hadis karya DR.
H. Moh. Matsna, MA hlm.4
[3] Dikutip dari dialog Dr. Abdul
Karim Naik ( Dr. Zakir Naik.) dalam debat islam dan kristen dengan tema
al-qur’an dan injil dalam kontek sains Tahun 2000
[4] Dikutip dari dialog Dr. Abdul
Karim Naik ( Dr. Zakir Naik.) dalam debat islam dan kristen dengan tema
al-qur’an dan injil dalam kontek sains. Tahun 2000
[5] Ibid Dr.Zakir Naik.
[6] Ibid Dr.Zakir Naik.
[10] M. Hasby Ash Shiddeqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 47
[11] Lihat Bukhari dalam Shahihnya
kitab Ilm yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
[12] M. Hasby
Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits
[13] ‘Abd
al-Razzaq, al Mushannaf, i:50-51 yang dikutip oleh Muhammad Mustafa
Azami, Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya'qub, hal.
132
[14] Musnad Imam Ahmad, v: 424, Ibid
[15] Shahih al-Bukhari, Hadits
no. 1454. Ibid
[16] Al-Tabrani, al-Mu’jam al-Kabir,
i: 5 A. Ibid
[17] Musnad Imam Ahmad, v:36. Ibid
[18] Lihat buku fiqih sunnah jilid I
hlm. 149
[19] Lihat buku ensiklopedi hokum
islam jilid 4, hlm. 1186
[21]Lihat buku
hukum islam karya R. Abdul Djamal, S.H. hlm. 70
Tambahkan pada kesimpulan anda bahwa :Sumber ajaran Islam itu adalah AL-Qur"an dan Hadist,yang intinya untuk menjadikan AL-Qur'an dan Hadist tersubut sebagai sumber dari segala sumber ilmu,sumber dari segala sumber hukum,yah berpedomankan AL-Qur'an dan Hadist,tujuannya supaya kita selalu berusaha dan berupaya untuk membiasakan yang benar berdasarkan petunjuk/tuntunan AL-Qur'an dan Hadist,juga begitu pula sebaliknya kita berusaha dan berupaya untuk menghindari apa-apa yang dilarang oleh AL-Qur'an dan Hadist(Jangan membenar kebiasaan), karena yang biasa kita lakukan selama ini belumlah tentu benar,dan buktinya secara kenyataan bahwa:belumlah pernah dunia ini merasa aman dan damai,banyaknya huru-hara,kerusuhan yang terjadi disana-sini,dengan berbagai macam modus aksinya,karena mereka saling kliem bahwa merekalah yang benar,hal itu dikarenakan perlakuan PEMIMPINNYA YANG TELAH KELUAR DARI TUNTUNAN AL-QUR'AAN DAN HADIST,Nah kalaulah Para Pemimpinnya sudah demikian,maka bagimana orang yang di Pimpin?. terimakasih,semoga bermenfa"at
BalasHapusWow, disini juga ada lo kak http://collagesct.yolasite.com/.
BalasHapus