Selasa, 30 September 2014

MAKALAH SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM



MAKALAH
SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM


OLEH :
KELOMPOK 2
KELAS : B

NAMA :         ISBAT                                    (18201201030072)
AULIA RAHMAWATI       (18201201030036)
FASIHAH                              (182012010300)
FENI SUSANTI                    (18201201030057)
DEWI PURNAMA SARI    (182012010300)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2012-2013


KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Assalmu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirobbil alamin segala puja dan puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan beberapa kenikmatan yang berupa Iman, Islam dan kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul sumber-sumber ajaran islam.
Salawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW. Rasul yang terahir yang telah membawa kita dari alam jahiliyah menuju alam ilmiyah yang penuh barakah ini.
Selanjutnya kami mengcapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu yang terhormat bapak Drs. Moh. Mashur abadi, M.Fil.I. yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada kami, sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Taklupa kami haturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam penulisan makalah ini , begitu juga kami mohon maaf apabila dalam penulisan ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan sehingga saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan.
Billahitaufiq Walhidayah Summassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pamekasan, 19 September 2012

 Penulis,
i

DAFTAR ISI
Kata pengantar ………………………………………………………..      i
Daftar isi ……………………………………………………………….      ii
BAB I Pendahuluan …………………………………………………..      1
1.1. Latar belakang ………………………………………….…       1
1.2. Rumusan masalah ………………………………………..         1
1.3. Tujuan penulisan ………………………………………....         1
BAB II Pembahasan ……………………………………………….....       2
            2.1. Pengertian Agama Islam ……………………………………       2
            2.2. Sumber –Sumber Ajaran Islam..……………………………..       4
A.      Al-Qur’an……………………………………………………………………….………           4
1.       Keautentikan Al-Qur’an ………………………………………………..           6
B.     Sunnah ………………………………………………………………………………...           12
1.         Keaotentikan As-Sunnah (Al-Hadits)……………………………..          13
C.     Ijtihad …………………………………………………………………………………..            18
D.    Ijma’ …………………………………………………………………………………….            18
E.     Qiyas ……………………………………………………         19       
BAB III penutup …………………………………………………….         20
            3.1. kesimpulan ………………………………………………          20
            3.2. saran ……………………………………………………..          20
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….        21





ii



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Sebagai agama terakhir, Islam diketahui memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan agama-agama yang datang sebelumnya. Melalui berbagai literatur yang berbicara tentang Islam dapat dijumpai uraian menge­nai pengertian agama Islam, dan juga sumber hukum islam dan ajarannya serta cara untuk memahaminya. Dalam upaya memahami ajaran Islam, berbagai aspek yang berkenaan dengan Islam itu perlu dikaji secara seksama, sehingga dapat menghasilkan pemahaman Islam yang komprehensif. Hal ini penting dilakukan, karena kualitas pemahaman keislaman seseorang akan mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan keislaman yang bersangkutan. Kita barangkali terikat terhadap kualitas keislaman seseorang yang benar-benar komprehensif dan berkualitas. Untuk itu uraian di bawah ini diarahkan untuk mendapatkan pemahaman tentang Islam.
1.2. Rumusan Masalah 
  1. Apa definisi islam?
  2. Apa saja sumber-sumber ajaran islam?
  3. Bagaimana keotentikan masing-masing sumber?
1.3. TUJUAN 
1.        Umum
agar dapat mengetahui pengertian Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad, Ijma’ dan Qiyas serta kekuatan hujjah masing-masing sumber.
2.        Khusus
Memberikan masukan dan tambahan ilmu pengetahuan kepada para pembaca khususnya rekan STAIN pamekasan serta pada generasi penerus bangsa ini.






BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Agama Islam
Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama Islam, yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Dari segi kebahasaan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.
Senada dengan pendapat di atas, sumber lain mengatakan bahwa Islam berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat. Kataaslama itulah yang menjadi kata Islam yang mengandung arti segala arti yang terkandung dalam arti pokoknya. Oleh sebab itu, orang yang berserah diri, patuh, dan taat disebut sebagai orang Muslim. Orang yang demikian berarti telah menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri, dan patuh kepada Allah Swt. Orang tersebut selanjutnya akan dijamin keselamatannya di dunia dan akhirat.
Dari pengertian kebahasaan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama yang berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan. Pengertian Islam demikian itu, menurut Maulana Muhammad Ali dapat dihami dari firman Allah yang terdapat pada ayat 202 surat AI-Baqarah yang artinya, Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Dari uraian di atas, kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa kata Islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan herserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari keselamatan dan keba­liagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Hal demikian dilakukan atas kcsadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak clalam kandungan sudah menyatakan patuh dan tunduk kepada Tuhan.
Dengan demikian, perkataan Islam sudah meng­gambarkan kodrat manusia sebagai makhluk yang tunduk dan patuh kepada "I'uhan”. Keadaan ini membawa pada timbulnya pemahaman terhadap orang yang tidak patuh dan tunduk sebagai wujud dari penolakan terhadap fitrah dirinya sendiri. Demikianlah pengertian Islam dari segi kebahasaan sepanjang yang dapat kita pahami dari berbagai sumber yang dikemukakan para ahli.
Adapun pengertian Islam dari segi istilah akan kita dapati rumusan yang berbeda-beda. Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa Islam menurut istilah (Islam sebagai agama), adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenal satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.
Sementara itu Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam ada­lah agama perdamaian; dan dua ajaran pokoknya, yaitu keesaan Allah dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata, bahwa agama Islam selaras benar dengan namanya. Islam bukan saja dikatakan sebagai agama seluruh nabi Allah, sebagaimana tersebut pada beberapa ayat kitab suci Al-quran, melainkan pula pada segala sesuatu yang secara tak sadar tunduk sepenuhnya kepada undang-undang Allah, yang kita saksikan pada alam semesta.
Berdasarkan pada keterangan tersebut, maka kata Islam menurut istilah adalah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah Swt. bukan berasal dari manusia, dan bukan pula berasal dari Nabi Muhammad Saw. Posisi Nabi dalam agama Islam diakui sebagai yang ditugasi oleh Allah untuk menyebarkan ajaran Islam tersebut kepada umat manusia. Dalam proses penyebaran agama Islam, nabi terlibat dalam memberi keterangan, penjelasan, uraian, dan contoh praktiknya. Namun keterlibatan ini masih dalam batas-batas yang dibolehkan Tuhan.
Dengan demikian, secara istilah Islam adalah nama bagi suatu agama yang berasal dari Allah Swt. Nama Islam demikian itu memiliki perbedaan yang luar biasa dengan nama agama lainnya. Kata Islam tidak mempunyai hubungan dengan orang tertentu atau dari golongan manusia atau dari suatu Negeri. Kata Islam adalah nama yang diberikan oleh Tuhan sendiri. Sebagaimana firman Allah yang Artinya: “Sesungguhnya agama yang di ridhoi Allah di sisinya adalah agama islam”[1]
Demikian dapat dipahami dari petunjuk ayat-ayat Alquran yang diturunkan oleh Allah Swt. Selanjutnya, dilihat dari segi misi ajarannya, Islam adalah agama sepan­jang sejarah manusia. Agama dari seluruh Nabi dan Rasul yang pernah diutus oleh Allah Swt. pada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok manusia. Islam itulah agama bagi Adam as, Nabi Ibrahim, Nabi Ya'kub, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Isa as. Hal demikian dapat dipahami dari ayat-ayat yang terdapat di dalam Alquran yang menegaskan bahwa para nabi tersebut termasuk orang yang berserah diri kepada Allah.
2.2. Sumber –Sumber Ajaran Islam
Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Al-qur’an dan Al-Sunnah serta beberapa sumber-sumber yang lain seperti Ijtihad, Qiyas dan Ijma’; sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk memahami Alquran, Al-Sunnah, Ijtihad, Qiyas dan Ijma’. Beberapa ketentuan ini sesuai dengan agama Islam itu sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah Swt. yang penjabarannya dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Di dalam Al-qur’an surat An-Nisa ayat 156 kita dianjurkan agar menaati Allah dan Rasul-Nya serta Ulil Amri (pemimpin). Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya ini me­ngandung konsekuensi ketaatan kepada ketentuan-Nya yang terdapat di dalam Alquran, dan ketentuan Nabi Muhammad Saw. yang terdapat dalam hadisnya. Selanjutnya ketaatan kepada Ulil amri atau pemimpin sifatnya kondisional, atau tidak mutlak, karena betapapun hebatnya Ulil Amri itu, ia tetap manusia yang memiliki kekurangan dan tidak dapat dikultuskan. Atas dasar inilah mentaati ulil Amri bersifat kondisional. Jika produk dari ulil Amri tersebut sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya maka wajib diikuti, sedangkan jika produk dari Ulil Amri tersebut bertentangan dengan kehen­dak Tuhan, maka tidak wajib menaatinya. Penjelasan mengenai sumber ajaran Islam tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.
A. Al-Qur’an
Di kalangan para ulama telah sepakat bahwa al-qur’an adalah sumber ajaran islam yang sangat valid atau sah. Adapun pengertian Alquran dari segi istilah dapat dikemukakan berbagai pendapat berikut ini.
Pendapat para ulama pada umumnya yang menyatakan bahwa Alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Pengertian demikian senada dengan yang diberikan Al-Zarqani. Menurutnya Alquran adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. mulai dari awal surat Al-Fatihah, sampai dengan akhir surat Al-Nas.
Pengertian Alquran secara lebih lengkap dikemukakan oleh Dr. Bakri Syaikh Amin “alquran adalah kalamullah sebagai mukjizat yang diturunkan pada penutup para nabi dan rasul (nabi muhammad saw) dengan perantara al-amin (Jibril As), ditulis dalam mushaf, terpelihara dalam dada-dada manusia, disampaikan secara mutawattir, bacaannya diberi nilai ibadah, di mulai dengan surat al-fatihah dan di ahiri dengan surat An-Nas”.[2]
Berkenaan dengan definisi tersebut, maka berkembanglah studi tentang Alquran baik dari segi kandungan ajarannya yang menghasilkan kitab-kitab tafsir yang disusun dengan menggunakan berbagai pendekatan, maupun dari segi metode dan coraknya yang sangat bervariasi sebagaimana yang kita jumpai saat ini.
Selain itu ada pula yang meneliti Alquran dari segi latar belakang sejarah dan sosial mengenai turunnya yang selanjutnya menimbulkan apa yang disebut Ilmu Asbab al-Nuzul. Dalam pada itu ada pula yang mengkhususkan diri mengkaji petunjuk cara membaca Al-quran yang selanjutnya menimbulkan ilmu qira'at termasuk pula Ilmu Tajwid. Dan ada pula ulama yang mengkaji Al-quran dari segi sejarah penulisannya, nama-namanya, dan masih banyak lagi. Semua itu dilakukan para ulama dengan maksud agar ummat Islam dapat mengenal secara menyeluruh berbagai aspek yang berkenaan dengan Alquran.
Selanjutnya Alquran juga mempunyai fungsi, diantaranya adalah :
Ø Al- Huda (petunjuk)
bahwa al-qur’an adalah petunjuk bagi kehidupan manusia disamping sunnah Rasul yang merupakan yang kedua yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia.
Ø Al-Furqan (pembeda)
Sebagaimana firman Allah “Bulan Ramadhan adalah bulan yang diturunkannya al-qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yan batil)..(QS. Al-Baqarah : 185).
Ø  Al-Syifa (obat)
Sebagaimana firman Allah “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada….(QS. Yunus : 57).
Ø  Al-Mau’izhah (nasihat)
Sebagaiman firman Allah “Al-Qur’an ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi yang bertaqwa”. (QS. Ali Imran : 38).
1.    Keautentikan Al-Qur’an
inna nahnu nazzalnadhdhikro wa inna lahu lahaafiduun (QS. Al-Hijr : 9)
Itu lah janji allah kepada kita semua allah-lah yang akan menjaga al-qur’an dari berbagai hal yang akan mengganggu atau menghancurkannya, allah menurunkan al-qur’an kepada nabi ahiruz zaman (nabi mahammad saw.) sebagai mukjizat yang paling hebat yang tidak akan penah tertandingi oleh apapun dan siapapun di dunia ini sebagimana firman allah dalam surah al-isro’ ayat 88 yang berbunyi “katakanlah “sesungguhnya jika manusia da jin berkumpul untuk membuat yang serupa(dengan) al-qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun merka saling membantu satu sama lain”
Dari statement di atas jelaslah bahwa tidak akan pernah ada seorangpun yang akan mampu untuk membuat dan menandingi al-qur’an sekalipun semua jin dan manusia berkumpul untuk membuat karya yang seperti al-qur’an dan tidak akan ada yang mampu untuk merusak atau merubah al-qur’an karna allah sudah berjanji untuk menjaga al-qur’an sendiri, artinya al-qur’an itu benar-benar murni dari allah tanpa ada kesalahan, perubahan dan campur tangan manusia. Untuk membuktikan keotentikan Al-Qur’an kita bias mengetahuinya dengan meneliti redaksi Al-Qur’an, isi (kandungan Al-Qur’an) serta serta sejarah Al-Qur’an.
a)   Redaksi atau Kontek Al-Qur’an
Redaksi Al-Qur’an merupakan salah satu bukti keotentikan Al-Qur’an karna redaksi atau kontek Al-Qur’an merupakan literatur bahasa tertinggi[3] baik dari dari gramaticalnya dan keindahan bahasanya bukan Cuma itu saja lafadz-lafadz dalam kontek atau redaksi Al-Qur’an sangatlah indah dan penuh dengan penafsiran yang tidak terbatas. Para ahli sastra baik dari Indonesia ataupun dari Negara-negara lain mengakui bahwa redaksi atau kontek Al-Qur’an merupakan susunan sastra tertinggi yang pernah ada sepanjang sejarah. dan Al-Qur’anpun tidak memiliki kecacatan dalam redaksinya baik dalam pemilihan katanya, susunan gramatikalnya dan keindahannya ketika dibaca karena ketika seseorang membaca atau mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an pasti dia tidak akan merasa bosan.
Dan dari pengakuan ahli-ahli tersebut, jelas Al-Qur’an ini bukanlah buatan manusia karena tidak mungkin ada seorang manusia yang mampu menciptakan sesuatu tanpa ada kekurangan atau kecacatan didalam karyanya. Akan tetapi tidak demikian dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an tidak memiliki kecacatan atau kekurangan didalamnya, karena Al-Qur’an bukanlah ciptaan manusia akan tetapi ciptaan Allah SWT tuhan semesta alam. Seperti firman Allah yang berbunyi: “ma farrotna fil kitabimin syai’in”  Dan dari bukti-bukti di atas jelas bahwa Al-Qur’an memang benar-benar otentik dan benar-benar dari Allah tuhan semesta alam.
Bukan Cuma itu saja Al-Qur'an menggambarkan dirinya sendiri sebagai sebuah kitab yang "diturunkan" Tuhan kepada Nabi, ungkapan kata "diturunkan" atau anzalna dalam berbagai bentuk digunakan lebih dari 200 kali. Secara intrinsik, ini berarti bahwa konsep dan isi al-Qur'an benar-benar diturunkan dari langit. Sebagaimana dalam beberapa ayat yang lain, Tuhan juga menurunkan besi, mizan (keadilan, keseimbangan, harmoni) dan 8 pasang binatang ternak. Al-Qur'an diturunkan secara bertahap dalam berbagai peristiwa yang memakan waktu 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Ia dikutip langsung dari catatan di Lauh Mahfuzh, yang berarti Kitab Utama atau bermakna "Pusat Arsip".
Al-Qur'anpun berpandangan bahwa bacaan tersebut tersusun rapi, sempurna dan tidak ada yang ketinggalan. Ia dalam peng­gambarannya sangat unik. Nabi pun kadang-kadang dikritik dan ditegur dalam beberapa peristiwa. Al-Qur'an juga selalu menyisipkan ayat-ayat tertentu, seperti "intan yang berkilauan", dalam pelajaran metafisisnya. Ia mendesak pembaca agar menggunakan kemampuan intelektualnya, mengenali isyarat ­isyarat ilmiah berupa "intan yang berkilauan", tanda-tanda kebesaran Pencipta melalui alam semesta, sumber Metafisis Tertinggi. Muslim modern mengatakan ada sekitar 900 ayat yang memuat tanda-tanda ini, dari total 6.236 ayat. Hanya 100 ayat yang berbicara persoalan peribadatan, dan puluhan ayat yang membahas masalah-masalah pribadi, hukum perdata, hukum pidana, peradilan dan kesaksian. Al-Qur'an cara yang berbeda dalam pe­nyajiannya, bisa saja membahas masalah keimanan, moral, ritu­al, hukum, sejarah, alam, antisipasi masa mendatang, secara sekaligus dalam satu surat. Ini memberikan daya persuasi yang lebih besar, karena semua berlandaskan keimanan kepada Tuhan Yang Esa dan Hari Akhir. Jumlah surat dalam al-Qur'an ada 114, nama-nama tiap surat, batas-batas tiap surat dan susunan ayat-ayatnya merupakan ketentuan yang ditetapkan dan diajarkan oleh Nabi sendiri.
b)   Isi atau Kandungan Al-Qur’an
Bukan Cuma redaksinya saja yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an ini berasal dari Allah tapi juga dari isi atau kandungannya. Karena kandungan yang ada dalam Al-Qur’an semuanya terbukti kebenarannya seperti dalam surat Al-Furqon 25:53 yang menceritakan tentang dua macam air yang tidak bisa bercampur dikarenakan ada barzah yang menghalangi kedua air itu untuk bercampur.[4] Dan ketika para ilmuan meneliti hal itu terbukti benara dua macam air tersebut memang tidak bisa bercampur karna ada unsur-unsur kimia yang bereaksi diantara keduanya.[5] Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila ada dua macar air yang memiliki unsur dan massa berbeda maka salah satu dari air tersebut kehilangan unsure pokoknya sehingga kedua air tersebut tidak bias bercampur. Dalam Al-Qur’an haltersebut di sebut barzah atau rintangan yang tidak terlihat.[6]
Bukan cuma itu saja Al-Qur’anpun juga terbukti kebenaran-kebenarannya dalam berbagai bidang ilmu umum dan ilmu pengetahuan. Contohnya dalam bidang astronomi, Al-Qur’an juga membuktikan ke otentikan dan kebenarannya dalam surah al-anbiyak 20:33, yang berbunyi: dialah yang menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar dalam garis edarnya. ( surah al-anbiyak 20:33)
           Dari ayat tersebut nampaklah bahwa Al-Qur’an itu benar dan autentik. Karna di zaman yang sudah moderen ini para ilmuan telah meneliti matahari yang sebelumnya di anggap Cuma diam dan tidak berputar ternyata matahari juga berputar mengelilingi porosnya sendiri sebagaimana yang telah dikatakan dalam Al-Qur’an. Dan masih bayak lagi bukti-bukti kebenaran Al-Qur’an yang sudah membuat para ilmua-ilmuan masuk islam dikarnakan merka menemukan kebenaran yang sejati dalam al-qur’an. Jadi keautentikan Al-Qur’an tidak dapat di ragukan lagi oleh siapapun didunia ini sebab al-qur’an sudah terbukti kebenarannya dari dulu sampek sekarang.[7]
c)    Sejarah-Sejarah Pembukuan Dan Penulisan Al-Qur’an
Pada awal Islam, bangsa Arab adalah bangsa yang buta huruf, hanya sedikit yang pandai menulis dan membaca. Bahkan beberapa di antaranya merasa aib bila diketahui pandai menulis. Karena, orang yang terpandang pada saat itu adalah orang yang sanggup menghafal, bersyair, dan berpidato. Waktu itu belum ada "kitab". Kalaupun ada hanyalah sepotong batu yang licin dan tipis, kulit binatang, atau pelepah korma yang ditulis. Termasuk kutub, jamak kitab, yang dikirim oleh Nabi kepada raja-raja di sekitar Arab, sebagai seruan untuk masuk Islam.
Setiap kali turun ayat, Nabi menginstruksikan kepada para sahabat untuk menghafalnya dan menuliskannya di atas batu, kulit binatang dan pelepah korma. Hanya ayat-ayat al-Qur'an yang boleh ditulis. Selain ayat-ayat al-Qur' an, bahkan termasuk Hadis dan ajaran-ajaran Nabi yang didengar oleh para sahabat, di larang untuk dituliskan, agar antara isi al-Qur'an dengan yang lainnya tidak tercampur.
Setiap tahun, malaikat Jibril, utusan Tuhan mengulang (repetisi) membaca ayat-ayat al-Qur'an yang telah diturunkan sebelumnya di hadapan Nabi. Pada tahun Muhammad saw wafat, yaitu tahun 632 M, ayat-ayat al-Qur' an dibacakan dua kali dalam setahun.6 Ini menarik sekali, karena seolah-olah akhir tugas dan kehidupan Nabi di dunia ini telah diantisipasi akan selesai.

Pada masa khalifah pertama, Abu Bakar, banyak terjadi peperangan melawan orang-orang yang murtad dan para nabi palsu. Di antara mereka yang gugur dalam peperangan banyak penghafal ayat-ayat al-Qur'an. Umar bin Khaththab mengu­sulkan untuk mengumpulkan para penghafal al-Qur'an, disu­ruh membacakan al-Qur’an, menjadikan satu, meneliti dan menulis ulang. Kumpulan itu yang ditulis oleh Zaid bin Tsabit, mushaf, berupa lembaran-lembaran yang diikat menjadi satu, disusun berdasarkan urutan ayat dan surat seperti yang telah ditetapkan oleh Nabi sebelum wafat. Sedangkan pada masa Utsman bin Affan, tentara Muslim telah sampai ke Armenia, Azerbajan di sebelah Timur dan Tripoli di sebelah barat. Kaum Muslim terpencar di seluruh pelosok negeri, ada yang tinggal di Mesir, Syria, Irak, Persia dan Afrika. Naskah beredar di mana­mana, tetapi urutan surat dan cara membacanya beragam, se­suai dialek di mana mereka tinggal. Hal ini menjadikan perti­kaian antarkaum Muslim sehingga menjadikan kekhawatiran pemerintahan Utsman. Maka kemudian Utsman membentuk panitia untuk membukukan ayat-ayat al-Qur'an dengan me­rujuk pada dialek suku Quraisy, sebab ayat al-Qur'an diturun­kan dengan dialek mereka, sesuai dengan suku Muhammad saw. Buku tersebut diberi nama al-Mushaf, ditulis lima kopi dan dikirimkan ke empat tempat: Mekkah, Syria, Bashrah, dan Ku­fah. Satu kopi disimpan di Medinah sebagai arsip dan disebut Mushaf al-Imam.
Walaupun telah disatukan dan diseragamkan, namun tetap cukup banyak al-Qur'an di Afrika dengan dialek berbeda, ter­masuk jumlah ayat yang "berbeda" karena perbedaan mem­baca dalam pergantian nafas (6.666 ayat), tetapi isinya tetap sama. Awalnya, pada zaman Nabi, al-Qur'an memakai dialek Quraisy, tetapi kemudian berkembang menjadi tujuh dialek non-Quraisy. Pada mulanya, ini dimaksudkan agar suku-suku lain lebih mengerti. Ada juga aliran tersendiri (kelompok kecill, pimpinan Dr. Rashad Khalifa, kelahiran Mesir, seorang ahli biokimia dan matematika, yang mempromosikan jumlah ayat 6.234, berbeda 2 ayat dengan naskah Ustman, 6.236 ayat.
Sedangkan mayoritas Muslim, baik Sunni maupun Syi ah tetap berpegang teguh pada naskah awal yang dikumpulkan semasa Khalifah Ustman, yaitu dialek Quraisy, hingga kini. Perbedaan kecil ini, menjadi sasaran kritik para Orientalis, bahwa al-Qur’ an tidak asli lagi, karena telah ada campur tangan manusia dalam transmisinya. Walaupun demikian, sebagian di antara mereka, seperti Gibb, Kenneth Cragg, John Burton, dan Schwally dalam bukunya Mohammedanism, The Collection of the Qur’an , The Mind of the Qu'ran, dan Geschichte des Qorans, mengakui bahwa "sejauh pengetahuan kita, kita bisa yakin bahwa teks wahyu telah di­transmisikan sebagaimana apa yang telah diberikan kepada Nabi".
1.    Di Mana Mushaf Utsmani Disimpan?
Banyak pertanyaan, di mana copy yang diberikan oleh Kha­lifah Utsman disimpan? Apakah masih ada? Menurut penje­lasan The Institute of Islamic Information and Education of America, naskah tadi disimpan di Museum Tashkent di Uz­bekistan, Asia Tengah. Sedangkan hasil copy fax ada di Perpus­takaan Universitas Columbia di Amerika Serikat. Keterangan lebih lanjut menjelaskan bahwa copy tersebut sama dengan apa yang dimiliki pada zaman Nabi. Duplikat copy yang dikirimkan ke Syria pada masa Utsman juga masih ada di Topkapi Museum Istambul, duplikat ini dibuat sebelum terjadi kebakaran pada tahun 1892 yang menghancurkan mesjid Jami, di mana mushaf tersebut berada. Naskah yang lebih tua bisa ditemukan di Dar al-Kutub, Kesultanan Mesir. Sangat menarik, terdapat naskah yang disimpan di Perpustakaan Kongres di Washington, Ches­ter Beatty Museum di Dublin (Irlandia) dan Museum di Lon­don-isinya tidak berbeda dengan apa yang terdapat di Mesir, Uzbekistan dan Syria. Sebelumnya juga terdapat 42.000 koleksi naskah kuno disimpan Institute for Koranforshung, University of Munich di Jerman. Namun, ketika Perang Dunia II, koleksi ini hancur karena dibom.
Sejauh ini, berkat upaya para sahabat Nabi dan atas pertolongan Tuhan Yang Maha Esa, isi al-Qur'an, sejak zaman Nabi hingga sekarang tetap sama. Namun demi­kian, pertanyaan lainnya muncul. Jika ini semua otentik sesuai dengan aslinya, bagaimana kita yakin bahwa al-Qur'an berasal dari "Sumber Metafisis Tertinggi"?  Sebagian besar kaum Mus­lim sangat yakin bahwa al-Qur'an adalah asli dari Tuhan, karena al-Qur'an sendiri yang mengatakan demikian; misalnya saja, Surat an-Nisa' (4:82); al-An'am (6:19); (6:92); an-Naml (27:6); al-Jatsiyah (45:2). Sebagian Muslim lainnya baru percaya setelah membaca dan memahami isinya dengan baik, berpikiran jernih, dan mau membuka hati dengan hal-hal yang baru. Tetapi dapat dipahami pula, karena "sumbernya dari dalam", bagi orang luar yang skeptis, pendapat apa saja dimungkinkan. Oleh karena itu, bagi orang luar, bukan kalangan Muslim atau siapa saja, pilihannya adalah salah satu dari lima kemungkinan yang "mengarang al-Qur'an".
1)      Pertama, Nabi Muhammad saw.
2)      Kedua, para pujangga-ilmuwan Arab dan kumpulan cerita dari berbagai sumber.
3)      Ketiga, merupakan jiplakan dari kitab suci Injil dan Taurat.
4)      Keempat, buatan makhluk asing.
5)      Dan kelima, dari Tuhan.
           Al-Qur'an berpandangan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Ia mengatakan bahwa percaya atau tidaknya seseorang terhadap isi al-Qur'an, semata-mata karena hidayah Allah. Hidayah diberikan bagi yang mau berpikir jernih dan berprasangka baik.
B. Sunnah
Para ulamak sepakat bahwa Sunnah merupakan sumber ajaran Islam (syari’ah) dan ketentuan-ketentuanya mengenai halal dan haram selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti Hadits, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.[8]
Menurut bahasa Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Adapun pengertian Sunnah sebagai berikut “cara-cara hidup nabi muhammad sehari-hari. Dan cara-cara hidup ini menyangkut atau mengenai perkataan sebagai ucapannya (disebut juga sunnah al-qouliyah), sunnah perbuatan (disebut juga sunnah al-fi’liyah) dan keadaan diam (disebut jga sunnah taqririyah)”[9]
Selain kata As-Sunnah yang pengertiannya sebagaimana disebutkan di nas, kita juga menjumpai kata Al-Hadis, Al-Khabar dan Al-Atsar. Oleh sebagian alama kata-kata tersebut disamakan artinya dengan Al-Sunnah, dan oleh sebagian ulama lainnya kata-kata tersebut dibedakan artinya. Menurut sebagian alama yang disebut belakangan ini Al-Sunnah diartikan sebagai sesuatu yang dibiasakan oleh Nabi Muhammad SAW., sehingga sesuatu itu lebih banyak dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW. daripada ditinggalkan. Sementara itu hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan namun jarang dikerjakan oleh Nabi. Selanjutnya khabar adalah ucapan, perbuatan dan ketetapan yang berasal dari sahabat; dan atsar adalah ucapan, perbuatan dan ketetapan yang berasal dari para tabi'in.
Sementara itu Jumhur Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan Al-Sunnah, Al-Hadits, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Pengertian ini didasarkan kepada pandangan mereka terhadap nabi sebagai suri teladan yang baik bagi manusia. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum. Pengertian ini didasarkan pada pandangan mereka yang menempatkan Nabi Muhammad SAW. sebagai pembuat hukum.
Dari informasi singkat tersebut kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa perhatian para ulama untuk melakukan studi hadis sudah demikian luas, walaupun terkesan bersifat teknis dan kurang mencoba menjelaskan hubungan hadits dengan berbagai persoalan yang dihadapi umat. Namun demikian, uraian tersebut secara garis besar telah membuka jalan bagi para peneliti berikutnya yang akan melakukan penelitian terhadap hadits.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki fungsi yang diantaranya adalah:
Ø   Untuk memperkuat Al-Qur’an
Ø   Menjelaskan isi Al-Qur’an (bayan tafsir)
1.      Keaotentikan As-Sunnah (Al-Hadits)
              Keotentikan Al-Hadits bisa kita teliti dari sejarah pengumpulan, penulisan dan pembukuan hadits yang sangat teliti dalam memilih dan mengelompokkan hadits menjadi beberapa kelompok seperti hadits mutawattir, hadits ahad dan hadits-hadits yang lainnya. Pengumpulan hadits yang sangat teliti tersebut mencari atau mendatangi para sahabat nabi yang hafal hadits-hadits. Akan tetapi bukan sebarang sahabat atau orang hafal hadits yang di datangi atau yang dicari tapi para penghafal hadits yang memenuhi kriteria penghafal hadits. Seperti:, orang yang hafal hadits harus orang yang takwa, adil, jujur, bijaksana dan sebagainya, dan apa bila salah satu kriteria tersebut tidak terdapat dalam diri penghafal hadits tersebut, maka hadits yang dia hafal tidak akan di ambil karena ia tidak memenuhi kriteria para penghafal hadits. Karena apabila tidak ada kriteria-kriteria khusus, dihawatirkan akan banyak orang-orang yang mengaku ahfal hadits atau memalsukan hadits. Kenapa hal tersebut dilakukan? Karena khawatir atas adanya hal-hal yang tidak diinginkan. karna dengan persyaratan yang seperti diatas orang-orang jahat tidak akan bisa untuk memalsukan hadits-hadits dari rosulullah.
a)      Sejarah Pembukuan Dan Penulisan
Adapun dalam perkembangan penulisan hadits telah dicoba mengelompokkannya kedalam beberpa periode, seperti yang dirumuskan oleh M Hasbi Asyiddiqi yang membagi kedalam beberaa periode pada masa Nabi dan sahabat, yaitu  pada abad pertama, M Hasbi Asyiddiqi membagi menjadi tiga periode.[10]
1)      Periode Pertama (Masa Rasulullah SAW)
            Pada periode pertama para sahabat langsung mendengarkan dari Rasulullah SAW atau dari sahabat lain, karena para sahabat tersebar di penjuru negri, ada yang di Dusun, dan ada yang di kota. Adakalanya diterangkan oleh istri-istri rasul seperti dalam masalah kewanitaan dan rasulullah SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menghapal dan menyebarkan hadits-haditsnya diantara sabda beliau yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim
”Dan ceritakanlah dariadaku, tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang kamu dengar daripadaku. Barang siapa yang berdusta terhadap diriku, hendaklah ia bersedia menempati kedudukannya di neraka.”
Perlu diketahui bahwa dalam menyampaikan hadits dilakukan dengan dua cara :
  1. Dengan lafadz asli, yakni menurut laafadz yang mereka dengar dari rasulullah Saw.
  2. Dengan makna saja, yakni hadits tersebut disampaikan dengan mengemukakan makna saja, tidak menurut lafadz seperti yang diucapkan Nabi.
 Kecuali itu, pada masa Rasulullah SAW sudah ada catatan hadits-hadits beliau seperti Abdullah bin Amru, dan pernah suatu waktu Rasulullah SAW berkhutbah, setelah seorang dari yaman datang  dan berkata. ”Ya Rasulullah tuliskanlah untukku”,tulislah Abu Syah ini.[11] 
Kembali kepada pelarangan Rasulullah SAW dalam penulisan hadits. Tujuan Rasulullah adalah agar al-Qur’an tidak bercampur dengan apapun, termasuk erkataan beliau sendiri. Ketika menemukan ternyata ada sahifah-sahifah berisi hadits pada masa Rasulullah SAW kita tidak akan berani mengatakan bahwa para sahabat menghiraukan perintah Rasulullah SAW. Setelah diteliti ternyata ada hadits yang menyatakan bolehnya penulisan hadits, seperti sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan Abu Daud;
 ”Tulislah, maka jiwaku yang berada ditangan-Nya tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran”
Hadits ini terlihat kontradiktif dengan hadits sebelumnya, berikut ini adalah pendapat para ulama untk mengkomromikan kedua hadits ini;
  1. Bahwa larangan menulis hadits itu, telah dimansukh oleh hadits yang memerintahkan menulis
  2. Bahwa larangan itu bersifat umum, sedang untuk beberapa sahabat khusus diizinkan
  3. Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan mencampur adukannya denga al-Qur’an, sedangkan keizinan menulis ditujukan kepada mereka yang dijamin tidak akan mencampuradukannya.
  4. Bahwa larangan itu dalam bentuk kodifikasi secara formal seperti mushaf al-Qur’an, sedang untuk diakai sendiri tidak dilaarang.
  5. Bahwa larangan itu berlaku pada saat wahyu-wahyu yang turun belum dihafal dan dicatat oleh para sahabat, setelah dihafal dan dicatat, menulis hadits diizinkan. 
2)      Periode Kedua (Masa Khalifah Rasyidah)
Pada masa erintahan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., pengembangan hadits tidak begitu pesat, hal ini disebabkan kebijakan kedua khalifah ini dalam masalah hadits, mereka menginstruksikan agar berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Bahkan khalifah Uimar r.a dengan tegas melarang memperbanyak periwayatan hadits. Hal ini dimaksudkan agar al-Qur’an terpelihara kemudiannya dan ummat Islam memfokuskan dirinya dalam pengkajian al-Qur’an dan penyebarannya.
Hakim meriwayatkan; pernah suatu malam Abu Bakar r.a merasa bimbang sekali, pagi harinya ia memanggil putrinya Aisya r.a dan meminta kumpulan hadits yang ada padanya lalu Abu Bakar membakarnya.
Lain halnya ada masa khalifah Utsman dan Ali r.a, mereka sedikit memberi kelonggaran dalam mengembangkan hadits tetapi mereka masih sangat berhati-hati agar tidak bercampur dengan al-Qur’an, Khalifash Ali r.a, melarang penulisan selain al-Qur’an yang sesungguhnya ditujukan untuk orang-orang awam, karena beliau sendiri memiliki sahiofah yang berisi kumpulan hadits.[12]

3)   Periode Ketiga ( Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar)
 Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali r.a, ummat Islam dilanda fitna besar, dimana mereka terpecah menjadi 3 golongan; Golongan pendukung Ali (syi’ah), golongan pendukung Muawiyah dan golongan Khawarij.
Dalam perkembangannya golongan-golongan ini mulai memalsukan hadits dengan tujuan membenarkan golongan mereka dan menjatuhkan golongan lain. Hal ini mendorong para sahabat dan tabi’in lebih berhati-hati dalam meriwatkan dan mengumpulkan hadits. Tapi walau bagaimanapun belum ada kodifikasi secara formal.
Abad pertama seluruhnya mencakup masa sahabat, sebab sahabat-sahabat yang banyak meriwayatkan hadits meninggal pada abad pertama Hijriyah ini, walaupun ada yang meninggal sesudah itu. Tidak dipungkiri bahwa pada abad pertama penulisan hadits yang dilakukan oleh tabi’in juga sudah ada. Oleh karena itu perlu dipisahkan antara hadits-hadits yang di tulis oleh para Sahabat dan hadits-hadits yang ditulis oleh Tabi’in. Dalam pembahasan ini akan dikhususkan pada tulisan para Sahabat.
Disini akan dituliskan nama-nama sahabat, serta kegiatan mereka berkenaan dengan penulisan hadits, serta tahun mereka lahir dan kapan wafatnya. Hal ini penting kita ketahui dalam pembahasan sejarah penulisan hadits.
1)   Abu umamah al-Bahili
Nama aslinya Shudai bin ’Ajlan, RA (10 SH - 81 H). Beliau termasuk yang berpendapat membolehkan penulisan hadits. Hadits-hadits beliau ditulis oleh al-Qasim al-Syami.[13]
2)   Abu Ayyub al-Ansari
Nama aslinya Khalid bin Zaid, RA. (w. 52 H) beliau menulis beberapa hadits Nabi dan dikirimkan kepada kemanakannya, seperti yang dituturkan dalam kitab Musnad Imam Ahmad[14]. Cucu beliau, yaitu Ayyub bin Khalid bin Ayyub al-Ansari juga meriwayatkan 112 hadits. Yang biasanya hadits yang banyak semacam ini dalam lembaran-lembaran(shahifah).
3)   Abu Bakar al-Siddiq, RA. ( 50 SH – 13 H)
Dalam suratnya kepada Anas bin Malik, gubernur Bahrain, Abu Bakar mencantumkan beberapa hadits tentang wajibnya membayar zakat bagi orang-orang Islam[15]. Abu bakar juga berkirim surat kepada ’Amr bin al-’Ash, dimana dalam surat itu dicantumkan beberapa hadits Nabi[16].
4)   Abu Bakrah al-Tsaqafi
Nama sebenarnya Nufa’i bin Masruh (w. 51 H). Beliau menulis surat kepada anaknya yang menjadi hakim di Sijistan, dimana beliau mencantumkan beberapa hadits berkaitan dengan peradilan.[17] Dan masih banyak lagi sahabat-sahabat lain yang juga ikut berperan penting dalam sejarah pembukuan dan penulisan hadits seperti,
1. Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, wafat tahun 150 H di Mekah.
2. Ma’mar bin Rasyid, wafat tahun 153 di Yaman.
3. Abu Amr Abdur Rahman al Azwa’i, wafat tahun 156 H di Syam.
4. Sa’id bin Abi Arubah, wafat tahun 151 H.
5. Rabi’ bin Sabih, wafat tahun 160 H.
6. Hammad bin Abi Salamah, wafat tahun 176 H di Basrah.
7. Muhammad bin Ishak wafat tahun151 H.
8. Imam Malik bin Anas, wafat tahun 179 H di Madinah.
9. Abu Abdullah Sufyan as Sauri, wafat 161 H di Kuffah.
10. Abdullah bin Mubarak, wafat 181 H di Khurasan.11. Hasyim bin Basyir, wafat tahun 188 H di Wasit.
12. Jarir bin Abdul Hamid. Wafat tahun 188 H.
13. Al Lais bin Sa’d, wafat tahun 175 H di Mesir.
       Oleh kaerena itu, kita tidak perlu lagi ragu atas keotentikan hadits, karena hadis bukan dikumpulkan dengan sembarangan hadits dikumpulkan dan ditulis melalui proses-proses yang sangat aman dan tidak bisa di palsukan oleh orang nonmuslim.



C.  Ijtihad
Ijtihad Secara Bahasa berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh variasinya menunjukan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilakukan dan yang tidak disenangi. Kata ini pun berarti kesanggupan (Al-Wus’), kekuatan (At-Thaqah) dan berat (Al-musyaqqah).
1.    Bersifat adil dan taqwa
2.    Memahami Al-Qur’an dan al-hadits. Kalau tidak memahami salah satunya, maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad. Hal ini menjadi syarat utama karena ijtihad hanya boleh dilakukan apabila telah diketahui bahwa tidak ada penjelasan dalam Al-Qur’an atau Al-Hadis.
3.    Mengetahui hokum-hukum yang telah ditetapkan oleh ijma’. Sehingga ia tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan ijma’, kalau ia berpegang pada ijma’ dan memandangnya sebagai dalil.
4.    Mengetahui serta memahami bahasa arab. Mujtahid juga harus memahami lafadz-lafadz zhahir, mujmal, yang hakikat, yang mahmuz, am, khas, muhkam, mutasyabihat, mutlaq, muqayyat, mantuq dan mufham. Semua ini perlu untuk memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits.
5.    Mengetahui ilmu ushul fiqh dan dan harus menguasai ilmu ini dengan kuat, karena ilmu ini menjadi dasar dan pokok Ijtihad. Hendaknya seorang Mujtahid menguasai ilmu ushul fiqh ini sehingga sampaikepada kebenaran, dengan demikian ia mudah mengembalikan soal-soal cabang kepada soal-soal pokok.
6.    Mengetahui nasikh dan mansukh. Sehingga ia tidak mengeluarkan hukum berdasarkan dalil yang sudah dimansukh.
D.  IJMA’
Seiring dengan perkembangan zaman ada beberapa hal atau peristiwa baru yang tidak terjadi di masa rosul dan terjadi di masa sekarang ini seperti:
1.      Ijma’ tentang pengangkatan abu bakar menjadi kholifah karena mengqiyaskan kepada penunjukan abu bakar oleh rosulullah menjadi imam sholat ketika nabi berhalangan.[18]
2.      Jumhur ulamak sepakat bahwa adil itu hanya dapat dinilai secara lahiriyah tidak secara batiniah.[19]
Sedangkan pengertian ijma’ sendiri yaitu secara bahasa ijma’ berarti memutuskan, dan menyepakati ijma’ berasal dari benda verbal (masdar) dari bahasa arab ajma’a.[20] Sedangkan menurut istilah ijma’ adalah kebulatan pendapat (sensus) para ulamak besar pada suatu masa dalam merumuskan suatu yang baru sebagai hukum islam dan tolak pangkal perumusannya didasarkan pada dalil-dalil yang terdapat dalam al-qur’an dan hadis.[21] Selain itu Ijma’ juga merupakan sumber hukum ajaran islam selain al-qur’an dan sunnah.
E. Qiyas
Meskipun al-qu’an, hadis dan ijma’ sudah ada akan tetapi selalu saja ada hal-hal atau peristiwa baru yang terjadi sehingga menimbulkan kebingungan-kebingungan dalam memutuskan hukum bagi hal atau peristiwa baru tersebut sehingga munculah qiyas. contohnya, menurut qur’an dan hadis arak hukumnya haram karna memabukkan. Sehingga di analogikan bahwa setiap minuman yang memabukkan hukumnya haram seperti, wiski, vodka, bier dan lainya.[22]
Pengertian qiyas bisa dilihat dari dua segi , yaitu;
1.      Menurut logika, qiyas artinya mengambil suatu kesimpulan khusus dari dua kesimpulan umum sebelumnya (syllogisme).
2.      Menurut hukum islam, qiyas artinya menetapkan suatu hukum dari masalah baru yang belum pernah disebutkan hukumnya dengan memperhatikan masalah yang lama yang sudah ada hukumnya yang mempunyai kesamaan pada segi alasan dari masalah baru itu.
Dalam kaitan ini, hadist berfungsi memerinci petunjuk dan isyarat Al-qur’an yang bersifat global, sebagai pengecuali terhadap isyarat Al-qur’an yang bersifat umum, sebagai pembatas terhadap ayat Alquran yang bersifat mutlak dan sebagai pemberi informasi terhadap suatu kasus yang tidak di jumpai dalam Al-qur’an.





PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Setelah kita menjabarkan mulai dari pengertian dari agama sampai dengan sumber-sumber hukum agama islam maka dapatlah kita simpulkan bahwa agama islam yang merupakan nama “islam” itu sendiri alah Allah lah yang membuat nama agama tersebut sesuai dengan firmannya yang terdapat dalam Surah Ali Imron : 19 dan Allah hanya meridhoi agama islam. Kemudian, mengenai sumber-sumber hukum islam dapat kita simpulkan bahwa segala sesuatu yang berkenaan dengan ibadah, muamalah, dan lain sebagainya itu berlandaskan Al-qur’an yang merupakan Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara mutawatir dan ditrunkan melalui malaikat Jibril dan membacanya dinilai Ibadah, dan Al-Sunnah sebagai sumber hukum yang kedua yang mempunyai fungsi untuk memperjelas isi kandungan Al-qur’an dan lain sebagainya.
3.2. Saran
Saran dari penulis adalah marilah kita menjadikan Al-qur’an, As-Sunnah, ijtihad, Ijma’ dan Qiyas sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari kita yang merupakan sumber hukum agama islam dan sekaligus pembawa kita kedalam kehidupan yang bahagia baik itu di dunia maupun diakhirat kelak nanti.














DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Nata, Abuddin, M.A. Metodologi Studi Islam
Nasutin, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya
Drs. Hakim, Abd, Atang., MA. Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam
Hakim. Abd. Atang. Dr. H. metodelogi studi islam. 2006. Remaja rosda karya.
Departemen agama RI. Al-Qur’an Hadits. 2006. Semarang. PT. karya toha putra.
Anwar. Rosihon. Ulum Al-Qur’an. 2007. Bandung.
Hefni, Moh. M. Ag. Buku ajar sejarah pemikiran hokum islam didunia muslim. 2006. Pamekasan.
Hallaq. Wael B. sejarah teori hukum islam. 2001. Jakarta. PT. raja grafindo persada.
Nata. Abuddin. Dr. metodologi studi islam. 1998. Jakarta. PT. raja grafindo persada.


[1] QS. Ali Imron : 19
[2] Lihat al-qur’an hadis karya DR. H. Moh. Matsna, MA hlm.4
[3] Dikutip dari dialog Dr. Abdul Karim Naik ( Dr. Zakir Naik.) dalam debat islam dan kristen dengan tema al-qur’an dan injil dalam kontek sains Tahun 2000
[4] Dikutip dari dialog Dr. Abdul Karim Naik ( Dr. Zakir Naik.) dalam debat islam dan kristen dengan tema al-qur’an dan injil dalam kontek sains. Tahun 2000
[5] Ibid Dr.Zakir Naik.
[6] Ibid Dr.Zakir Naik.
[7] Lihat buku pembentukan alam semesta karya harun yahya
[8] Lihat buku prinsip dan teori-teori hukum islam karya DR. Muhammad Hashim Kamali hlm.60-61
[9] Lihat buku hukum islam karya R. Abdul Djamal, S.H. hlm. 68-69
[10] M. Hasby Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 47
[11] Lihat Bukhari dalam Shahihnya kitab Ilm yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
[12] M. Hasby Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits

[13] ‘Abd al-Razzaq, al Mushannaf, i:50-51 yang dikutip oleh Muhammad Mustafa Azami, Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya'qub, hal. 132
[14] Musnad Imam Ahmad, v: 424, Ibid
[15] Shahih al-Bukhari, Hadits no. 1454. Ibid
[16] Al-Tabrani, al-Mu’jam al-Kabir, i: 5 A. Ibid
[17] Musnad Imam Ahmad, v:36. Ibid
[18] Lihat buku fiqih sunnah jilid I hlm. 149
[19] Lihat buku ensiklopedi hokum islam jilid 4, hlm. 1186
[20] lihat buku prinsip dan teori-teori hukum islam karya DR. Muhammad Hashim Kamali hlm. 219
[21]Lihat buku hukum islam karya R. Abdul Djamal, S.H. hlm. 70
[22] Lihat buku hukum islam karya R. Abdul Djamal, S.H. hlm. 71
 


2 komentar:

  1. Tambahkan pada kesimpulan anda bahwa :Sumber ajaran Islam itu adalah AL-Qur"an dan Hadist,yang intinya untuk menjadikan AL-Qur'an dan Hadist tersubut sebagai sumber dari segala sumber ilmu,sumber dari segala sumber hukum,yah berpedomankan AL-Qur'an dan Hadist,tujuannya supaya kita selalu berusaha dan berupaya untuk membiasakan yang benar berdasarkan petunjuk/tuntunan AL-Qur'an dan Hadist,juga begitu pula sebaliknya kita berusaha dan berupaya untuk menghindari apa-apa yang dilarang oleh AL-Qur'an dan Hadist(Jangan membenar kebiasaan), karena yang biasa kita lakukan selama ini belumlah tentu benar,dan buktinya secara kenyataan bahwa:belumlah pernah dunia ini merasa aman dan damai,banyaknya huru-hara,kerusuhan yang terjadi disana-sini,dengan berbagai macam modus aksinya,karena mereka saling kliem bahwa merekalah yang benar,hal itu dikarenakan perlakuan PEMIMPINNYA YANG TELAH KELUAR DARI TUNTUNAN AL-QUR'AAN DAN HADIST,Nah kalaulah Para Pemimpinnya sudah demikian,maka bagimana orang yang di Pimpin?. terimakasih,semoga bermenfa"at

    BalasHapus