MAKALAH
Tentang
Rusaknya Niat Dalam Mencari Ilmu
Diajukan
untuk memenuhi tugas matakuliah Telah Text Bahasa Arab
Dosen
pengampu: Ust. Karimullah
Disusun Oleh:
Isbat
(18201201030072)
TBI_A
PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INGGRIS
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini dengan judul “Rusaknya Niat Dalam Mencari Ilmu“. Penyusunan makalah
ini dimaksudkan untuk memenuhi salah tugas Telaah Text Bahasa Arab.
Keberhasilan penulisan makalah ini tentu tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
- Bapak Karimullah.
- Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna,
karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan guna kesempurnaan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin..!
Pamekasan, 28-04- 2014
Penulis
DAFTAR ISI
I.
Cover
II.
Kata
pengantar................................................................... i
III.
Daftar
isi ................................................................... ii
IV.
BAB
I ...............................................................................
iii
Latar Belakang .................................................................. iii
Rumusan masalah ....................................................... iv
Tujuan ............................................................................... iv
V.
BAB
II .............................................................................. 1
Pembahasan ................................................................... 1
Pengertian niat
.................................................................. 1
Pengertian menuntut ilmu ........................................... 1
Niat yang rusak
................................................................ 3
Ingin terkenal dan tampil .................................................. 7
Bosan menuntut ilmu ....................................................... 9
Menilai baik diri sendiri ................................................... 10
VI.
BAB
III ............................................................................... 13
Penutup ............................................................................ 13
Kesimpulan ...................................................... 13
Saran
.................................................................... 13
Daftar
pustaka ...................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Niat merupakan syarat layak/diterima
atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala
kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala). Waktu pelaksanaan niat
dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati. Ikhlas dan membebaskan niat
semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shalih dan
ibadah. Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.
Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena
mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah,yang membedakan antara
ibadah dan kebiasaan rutinitas adalah niat.
Dan pada salah satu sabda nabi Muhammad
SAW yang berbunyi "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi
tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya
karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan" (Bukhari,
muslim, ahmad, abu daud, ibnu majah, tirmidzi)
Aspek niat itu meliputi 3 hal :
1. Diyakini dalam
hati.
2. Diucapkan
dengan lisan (tidak perlu keras sehingga dapat mengganggu orang lain atau
bahkan menjadi ijma.
3. Dilakukan
dengan amal perbuatan.
Jadi niat akan lebih kuat bila ke tiga
aspek diatas dilakukan semuanya, sebagai contoh saya berniat untuk salat,
hatinya berniat untuk salat, lisannya mengucapkan niat untuk salat dan tubuhnya
melakukan amal salat. Demiikian pula apabila kita mengimani segala sesuatu itu
haruslah dengan hati yang yakin, ucapan dan tindakan yang selaras.
Dengan definisi
niat yang seperti ini diharapkan orang Islam atau Muslim itu tidak hanya
'semantik' saja karena dengan berniat berati bersatu padunya antara hati,
ucapan dan perbuatan. Niat baiknya seorang muslim itu tentu saja akan keluar
dari hati yang khusyu dan tawadhu, ucapan yang baik dan santun, serta tindakan
yang dipikirkan masak-masak dan tidak tergesa-gesa serta cerdas. Karena
dikatakan dalam suatu hadits Muhammad apabila yang diucapkan lain dengan yang
diperbuat termasuk ciri-ciri orang yang munafik.
B.
Rumusan Masalah
Ø Apa yang dimaksud dengan
niat?
Ø Apa yang di maksud dengan
niat yang rusak?
Ø Hal-hal Apa saja yang bisa menyebabkan
rusaknya niat?
Ø Dan apa yang akn terjadi
apabila niat kita rusak?
C. Tujuan
Ø Mengetahui apa yang di maksud
dengan niat.
Ø Mengetahui dan memahami
seperti apa niat yang rusak.
Ø Mengetahui hal-hal yang bisa
merusak niat.
Dan mengetahui hal-hal yang akan terjadi jika niat kita.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Niat merupakan syarat layak/diterima
atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala
kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala). Waktu pelaksanaan niat
dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati. Ikhlas dan membebaskan niat
semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shalih dan
ibadah. Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar
niatnya. Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat
karena mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah,yang membedakan
antara ibadah dan kebiasaan rutinitas adalah niat.
Dan pada salah satu sabda nabi Muhammad
SAW yang berbunyi "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi
tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya
karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan" (Bukhari,
muslim, ahmad, abu daud, ibnu majah, tirmidzi)
Aspek niat itu meliputi 3 hal :
1. Diyakini dalam
hati.
2. Diucapkan
dengan lisan (tidak perlu keras sehingga dapat mengganggu orang lain atau
bahkan menjadi ijma.
3. Dilakukan
dengan amal perbuatan.
Jadi niat akan lebih kuat bila ke tiga
aspek diatas dilakukan semuanya, sebagai contoh saya berniat untuk salat,
hatinya berniat untuk salat, lisannya mengucapkan niat untuk salat dan tubuhnya
melakukan amal salat. Demiikian pula apabila kita mengimani segala sesuatu itu
haruslah dengan hati yang yakin, ucapan dan tindakan yang selaras.
Dengan definisi
niat yang seperti ini diharapkan orang Islam atau Muslim itu tidak hanya
'semantik' saja karena dengan berniat berati bersatu padunya antara hati,
ucapan dan perbuatan. Niat baiknya seorang muslim itu tentu saja akan keluar
dari hati yang khusyu dan tawadhu, ucapan yang baik dan santun, serta tindakan
yang dipikirkan masak-masak dan tidak tergesa-gesa serta cerdas. Karena
dikatakan dalam suatu hadits Muhammad apabila yang diucapkan lain dengan yang
diperbuat termasuk ciri-ciri orang yang munafik.
B.
Rumusan Masalah
Ø Apa yang dimaksud dengan niat?
Ø Apa yang di maksud dengan niat yang
rusak?
Ø Hal-hal Apa saja yang bisa menyebabkan
rusaknya niat?
Ø Dan apa yang akn terjadi apabila niat
kita rusak?
C. Tujuan
Ø Mengetahui apa yang di maksud dengan
niat.
Ø Mengetahui dan memahami seperti apa niat
yang rusak.
Ø Mengetahui hal-hal yang bisa merusak
niat.
Ø Dan mengetahui hal-hal yang akan terjadi jika niat kita.
BAB II
PEMBAHASAN
PENTINGNYA NIAT DALAM MENUNTUT ILMU
A. Pengertian
niat
Niat meliputi 3
aspek yaitu :
1. Diyakini dalam
hati.
2. Diucapkan
dengan lisan (tidak perlu keras sehingga dapat mengganggu orang lain atau
bahkan menjadi ijma.
3. Dilakukan
dengan amal perbuatan.
Jadi niat akan
lebih kuat bila ke tiga aspek diatas dilakukan semuanya, sebagai contoh saya
berniat untuk salat, hatinya berniat untuk salat, lisannya mengucapkan niat
untuk salat dan tubuhnya melakukan amal salat. Demiikian pula apabila kita mengimani
segala sesuatu itu haruslah dengan hati yang yakin, ucapan dan tindakan yang
selaras.
B.
Pengertian
Menuntut Ilmu
“Menuntut ilmu adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk merubah
tingkah laku dan perilaku kearah yang lebih baik, karena pada dasarnya ilmu
menunjukkan jalan menuju kebenaran dan meninggalkan kebodohan.”
Disisi lain juga di katakan: “Uthlubu al-’ilma min al-mahdi ila al-llahdi”
artinya : tuntutlah ilmu dari buaiyan samapai keliang lahat.
Allah
swt menganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu karena ilmu itu memang sangatlah
penting seperti yang difirmankan allah swt pada ayat diatas dengan ilmu derajat
kita akan terangkat baik dimata allah ataupun dimata manusia. Baik atau buruk
nya sebuah ilmu bukan karena i8lmunya melainkan karena niat atau tujuan
sipemilik ilmu, Ibarat pisau, tergantung siapa yang memilikinya. Jika pisau
dimiliki oleh orang jahat, maka pisau itu bisa digunakan untuk membunuh,
merampok atau mencuri. Tetapi jika dimiliki oleh orang baik, maka pisau itu
bisa digunakan untuk memotong hewan qurban, mengiris bawang atau membelah ikan.
Menuntut ilmu merupakan ibadah
sebagaiman sabda Nabi Muhammad Saw.
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ
عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (رواه ابن ماجه عن
أنس بن مالك )
Artinya: Menuntut ilmu itu wajib
atas setiap muslim. (HR Ibnu Majah No. 224 dari shahabat Anas bin Malik t, lihat Shahih
Jamiush Shagir, no. 3913)
Mu’adz
bin Jabbal berkata : “Tuntutlah ilmu,
karena mempelajari ilmu karena mengharapkan wajah Allah itu mencerminkan rasa
Khasyyah, mencarinya adalah ibadah, mengkajinya adalah tasbih, menuntutnya
adalah Jihad, mengajarnya untuk keluarga adalah Taqarrub.”
Dengan
demikian perintah menuntut ilmu tidak di bedakan antara laki-laki dan
perempuan. Hal yang paling di harapkan dari menuntut ilmu ialah terjadinya
perubahan pada diri individu ke arah yang lebih baik yaitu perubahan tingkah
laku, sikap dan perubahan aspek lain yang ada pada setiap individu.
Dalam
hadits dikatakan bahwa:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ
الْأَعْلَى الصَّنْعَانِيُّ حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ رَجَاءٍ حَدَّثَنَا
الْوَلِيدُ بْنُ جَمِيلٍ حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ
أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ : ذُكِرَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلَانِ أَحَدُهُمَا عَابِدٌ وَالْآخَرُ عَالِمٌ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى
الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ
عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
“Telah berkata kepada
kami Muhammad ibn Abdil A’la Al-Shan’aniy dari Slaman ibn Raja dari Al-Walid
ibn Jamil dari Al-Qasim Abu ‘Abdirrahman dari Abi Umamah Al-Bahiliy beliau
berkata bahwa Rasulullah menyebutkan dua orang laki-laki, yang satu adalah
seorang ahli ibadah dan yang satu lagi adalah ahli ilmu. Kemudian Rasulullah
berkata sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dengan orang yang beribadah
seperti keutamaan aku dibanding kalian kemudia Rasulullah berkata: Sesungguhnya
penduduk langit dan bumi mendoakan kebaikan bagi orang yang berilmu hingga
semut dilubangnya dan ikan”
Disisi
lain juga disebutkan dalam hadits sebagai berikut:
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: مَنْ سَلَكَ طَرِ يْقًا يَلْتَمسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ
لَهُ طَرِ يْقًا إِلَى الْجَنَّةِ (رواه الترمذى)
“Telah berkata kepada kami Mahmud ibn Ghilan dari Abu Usamah dari Al
A’masy dari Abi Shalih dari Abi Hurairah ra, beliau berkata bahwa Rasulullah
bersabda: Siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah
memudahkan jalannya menuju surga”
Dari hadis diatas kita bisa melihat betapa murah dan baiknya
allah dalam memberikan jalan menuju surga bagi orang yang mencari ilmu.
C.
Niat yang Rusak
Niat adalah dasar dan rukun amal.
Apabila niat itu salah dan rusak, maka amal yang dilakukannya pun ikut salah
dan rusak sebesar salah dan rusaknya niat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Amal itu tergantung
niatnya, dan seseorang akan mendapatkan apa yang diniatkan. Maka barangsiapa
hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu karena Allah dan
Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang hendak diraihnya atau
karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai dengan apa yang
ia niatkan.”[1]
Setiap hal yang kita lakukan dan
kita ambil akan melahirkan timbale balik pada kita, baik itu buruk dan tidak.
Dan sebagai sebuah konsekuensi apabila seorang penuntut ilmu terdapat niatan
yang salah bukan karena ridlo Allah swt atau hany untuk mencari kesenangan
dunia belaka, maka ia tidak akan pernah mendapatkan bau harumnya surga di hari
kiamat nanti. Sebagai mana sabda Nabi saw :
عن ابي هريرة قال:قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم : مَنْ تَعَلَمَ عِلْماً مِماَ يُبْتَغىَ بِهِ وَجْهُ الله عَزَّ
وَ جَلَّ لاَ يَتَعَلَمُهُ اِلاَ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضاً مِنَ الدُنْياَ لَمْ
يَجِدْ عَرَفَ الْجَنَةِ يَوْمَ القِياَمَةِ ( رواه ابوداود )
Artinya
: Dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah SAW bersabda :“Barang siapa mencari
ilmu yang seharusnya dicari untuk mendapatkan ridho Allah, lalu dicarinya hanya
untuk mendapatkan kesenangan dunia, maka ia tidak mendapatkan bau harumnya
surga di hari kiamat”.
Hadits lain di menyebutkan sebgaimana berikut:
عن ابْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ
أَبِيْهِ, قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهُ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ
طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءُ أَوْ لِيُمَارِيَ السُّفْهَاءَ
أَوْ يُصْرِفَ بِهِ وُجُوْهَ النَّاسِ إِلَيْهِ اَدْخَلَهُ اللهَ النَّارَ (
روه الترمذى )
Artinya : “ Ibnu ka’ab bin malik dari ayahnya berkata, Aku mendengar
Rosulullah saw bersabda : “ Barang siapa mencari ilmu agar diperlakukan
sebagai seorang yang pandai atau untuk berbantah dengan orang-orang yang bodoh
atau mencari perhatian manusia kepadanya, niscaya kelak Allah memasukkannya ke
Neraka.”
Dari hadis di atas jelas terlihat
bahwa orang yang belajar dengan niatan untuk berdebat atau hanya untuk mencari
gelar ulama’ dan supaya
dipandang manusia. Maka allah mempersilahkan dia untuk memesan tempat di
neraka. Masya allah..!
Selain itu Rosulullah saw, juga
bersabda sebagai berikut :
Al Hasan al Basri telah berkata: “Siksaan ilmu pengetahuan adalah hati yang
mati, kemudian ia ditanya: “Apa yang dimaksud dengan hati yang mati?.Ia
menjawab: “Matinya hati adalah mencari harta dunia dengan menggunakan
perbuatan-perbuatan akhirat”.[2]
Dalam hadis lain juga di
riwyatkan sebagaiman berikut:
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ نَصْرِ بْنِ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ
الْهُنَائِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ أَيُّوبَ
السَّخْتِيَانِيِّ عَنْ خَالِدِ بْنِ دُرَيْكٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَعَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لِغَيْرِ اللَّهِ
أَوْ أَرَادَ بِهِ غَيْرَ اللَّهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ
النَّارِ ( روه الترمذي )
Ali bin Nashr bin Ali menceritakan
kepada kami (Imam Tirmidzi), Muhammad bin Abbad Al Hana’i memberitahukan kepada
kami, Ali bin Al Mubarak memberitahukan kepada kami, dari Ayyub AS Sikhtiyani,
dari Khalid bin Duraik dari Ibnu Umar dari Nabi SAW bersabda, “Barang siapa
belajar ilmu karena selain Allah atau menghendaki dengan ilmu itu selain Allah,
maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”
Hadits di atas berbicara tentang
pentingnya niat mencari ilmu. Dalam mencari ilmu hendaknya seseorang harus
benar-benar menjaga niatnya, karena jika ia salah dalam niatnya, Maka Allah SWT
telah menyiapkan tempat duduk bagi dia di neraka. Pada hakekatnya niat ikhlas
karna Allah SWT tidak hanya terbatas untuk menuntut ilmu saja, melainkan segala
amal baik seoarang muslim hendaknya karena Allah SWT, sebagaiman FirmanNya yang
berbunyi:
وَ
مَا اُ مِرُوْا اِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّ يْنَ (al bayyinah
:5)
Artinya
: “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepadanya dalam menjalankan agama dengan lurus”
Ketika Hamka menafsirkan ayat ini,
mengomentari; segala amal dan ibadat, atau apapun jua perbuatan yang
bersangkutan dengan agama, yang dikerjakan dengan kesadaran, hendaklah ikhlas
karena Allah swt belaka, bersih dari pada pengaruh yang lain. Dengan menjauhkan
diri dari kesesatan, yaitu condong kepada kebenaran laksana jarum kompas
(pedoman) kemana pun dia diputarkan, namun jarumnya selalu condong ke utara.
Demikian hendaknya hidup manusia, condong kepada yang benar, tidak dapat
dipalingkan kepada yang salah.
Dari sking pentingnya niat Imam
Sufyan ats-Tsauri (wafat th. 161 H) rahimahullaah mengatakan, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat
untuk aku obati daripada niatku.”[3]
Kemudian Imam Malik bin Dinar (wafat th. 130 H) rahimahullaah juga mengatakan,
”Barangsiapa mencari ilmu bukan karena
Allah Ta’ala, maka ilmu itu akan menolaknya hingga ia dicari hanya karena Allah.”[4]
Baiknya niat merupakan penolong yang
paling besar bagi seorang penuntut ilmu dalam memperoleh ilmu, sebagaimana
dikatakan Abu ‘Abdillah ar-Rudzabari (wafat th. 369 H) rahimahullaah, “Ilmu tergantung amal, amal tergantung
keikhlasan, dan keikhlasan mewariskan pemahaman tentang Allah ‘Azza wa Jalla.”
Senada dengan Abu ‘Abdillah
ar-Rudzabari, Imam Ibrahim an-Nakha’i (wafat th. 96 H) rahimahullaah
mengatakan, “Barangsiapa mencari sesuatu
berupa ilmu yang ia niatkan karena mengharap wajah Allah, maka Allah akan
memberikan kecukupan padanya.”[5]
Hendaklah kita memperbaiki niat kita
dalam menuntut ilmu dan menjauhi niat buruk yang hanya untuk memperoleh
keuntungan duniawi. Karena terkadang seorang penuntut ilmu terbetik niat dalam
hatinya untuk tampil (ingin terkenal). Apabila ia benar-benar ingin mempelajari
ilmu, membaca berbagai nash dan buku sejarah serta memperhatikan isinya, lalu
ia termasuk orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah Ta’ala, hal itu akan
menjadikannya sadar kembali, perhatiannya terhadap kitab-kitab itu membuatnya
bersemangat kembali untuk berbuat kebenaran dan kebaikan. Adapun jika ia
termasuk orang-orang yang dikalahkan hawa nafsu dan syahwatnya, hendaklah ia
tidak mencela, kecuali kepada dirinya sendiri.[6]
Dan yang perlu kita ketahui bahwa
ilmu tidak bisa kita dapatkan dengan cara bersantai-santai ria. Sebagaimana
sabda nabi Muhammad SAW.
Dalam hadits riwayat Muslim, Abu Katsir berkata,
لاَ يُسْتَطَاعُ الْعِلْمُ
بِرَاحَةِ الْجِسْمِ
“Ilmu tidak diperoleh dengan badan yang
bersantai-santai.” (HR. Muslim no. 612).
Abu Hilal Al Asykari (seorang penyair) awalnya sulit
menghafalkan bait sya’ir. Kemudian ia memaksakan dirinya dan berusaha keras,
awalnya ia bisa menghafalkan 10 bait. Karena ia terus berusaha, ia akhirnya
bisa menghafalkan 200 bait dalam sehari.
Rusaknya niat bisa disebabkan oleh
banyak hal diantaranya yaitu:
D.
Ingin Terkenal dan Ingin Tampil
Keren
ingin terkenal dan ingin tampil
adalah penyakit kronis. Tidak seorang pun dapat selamat darinya, kecuali
orang-orang yang dijaga oleh Allah Ta’ala.
Apabila niat seorang penuntut ilmu
adalah agar terkenal, ingin dielu-elukan, ingin dihormati, ingin dipuji,
disanjung, dan yang diinginkannya adalah itu semua, maka ia telah menempatkan
dirinya pada posisi yang berbahaya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Wahai bangsa Arab, wahai bangsa Arab (tiga kali), sesuatu
yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah riya’ dan syahwat yang
tersembunyi.”[7].
Imam Ibnul Atsir (wafat th. 606 H)
rahimahullaah mengatakan, “Maksud syahwat
yang tersembunyi dalam hadits ini adalah keinginan agar manusia melihat amalnya.”.[8]
Kemudian Sufyan Al Tsauri ra.
berkata: “Ilmu itu dipelajari hanyalah untuk bertaqwa. Kelebihan ilmu atas ilmu
yang lain hanya karena ilmu digunakan bertaqwa kepada Allah SWT. Jika tujuan
ini menjadi cacat dan niat orang yang mencari ilmu menjadi rusak, dengan
pengertian bahwa ilmu itu digunakan untuk mencapai perolehan hal-hal duniawi;
berupa harta atau jabatan, maka pahala orang yang mencari ilmu itu benar-benar
telah terhapus dan ia benar-benar telah dengan kerugian yang amat sangat.[9]
Mahmud bin ar-Rabi’ (wafat th. 66 H)
radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Ketika
kematian hendak menjemput Syaddad bin Aus (wafat th. 58 H), ia berkata, ‘Yang
paling aku takutkan menimpa ummat ini adalah riya’ dan syahwat tersembunyi.”
Dikatakan bahwa syahwat tersembunyi adalah seseorang ingin (senang) apabila
kebaikannya dipuji.
Seorang hamba yang bergembira dan
senang dihormati orang lantaran ilmu yang dimiliki dan amal yang dikerjakannya,
maka ini menunjukkan bahwa adanya sifat riya’ (ingin dilihat orang lain) dan
sum’ah (ingin didengar orang lain) dalam dirinya. Barangsiapa memperlihatkan
amalnya karena riya’, maka Allah Ta’ala akan memperlihatkannya kepada manusia,
dan barangsiapa memperdengarkan amalnya, maka Allah Ta’ala akan memperdengarkan
amal (kejelekan)nya kepada manusia.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
بِهِ مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ
بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللهُ.
“Barangsiapa memperdengarkan (menyiarkan) amalnya, maka
Allah akan menyiarkan aibnya. Dan barangsiapa beramal karena riya’, maka Allah
akan membuka niatnya (di hadapan manusia pada hari Kiamat).”
Syahwat merupakan musibah, kecuali
bagi orang yang hatinya ingat kepada Allah Ta’ala. Ketika Imam Ahmad bin Hanbal
(wafat th. 241 H) rahimahullaah mendengar bahwa namanya disebut-sebut, beliau
mengatakan, “Semoga ini bukan ujian
bagiku”[10].
E.
Bosan dalam Menuntut Ilmu
Di antara penghalang menuntut ilmu
adalah merasa bosan dan beralasan dengan berkonsentrasi mengikuti informasi
terkini guna mengetahui peristiwa yang sedang terjadi.
Ilmu yang kita cari mendorong kita
untuk mengetahui keadaan kita. Kita tidak akan bisa mengatasi berbagai masalah
dan musibah yang menimpa, kecuali dengan meletakkannya pada timbangan syari’at.
Seorang penyair mengatakan,
اَلشَّرْعُ مِيْزَانُ اْلأُمُورِ
كُلِّهَا وَشَاهِدٌ لِفَرْعِهَا وَأَصْلِهَا
“Syari’at adalah timbangan semua permasalahan, dan saksi atas
cabang masalah dan pokoknya”.[11]
Orang yang enggan menuntut dan
menghafalkan ilmu, namun menyibukkan diri dengan mengikuti berita koran dan
majalah, radio, televisi, internet, dan mencurahkan waktu dan tenaganya untuk
hal yang demikian, kemudian berupaya mengatasi permasalahan dengan pandangannya
yang kerdil tanpa merujuk kepada para ulama, maka ia merugi dan ia akan
mengetahui kerugiannya nanti di kemudian hari.
Sangat disayangkan, banyak aktifis
muda yang marah apabila larangan Allah Ta’ala dilanggar dan menangis karena
larangan Allah Ta’ala dilecehkan, namun mereka meremehkan berbagai kemaksiyatan
yang lainnya seperti ghibah, namimah, dan lainnya. Mereka tidak melaksanakan
shalat seperti contoh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau
bersabda,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِيْ
أُصَلِّيْ.
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat”[12].
Mereka pun tidak berwudhu’ seperti
wudhu’nya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau bersabda,
مَنْ تَوَضَّأَ كَمَا أُمِرَ وَصَلَّى
كَمَا أُمِرَ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa berwudhu’ seperti yang diperintahkan dan shalat
seperti yang diperintahkan, diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”.
Tidaklah Allah menurunkan suatu
penyakit, melainkan ada obatnya. Tidaklah musibah terjadi, melainkan ada jalan
keluar dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah. Ini adalah perkara yang tidak diragukan
lagi.
Oleh karena itu, jangan sekali-kali
Anda berpaling atau bosan dalam menuntut ilmu. Belajarlah sampai Anda mendapatkan
nikmatnya menuntut ilmu. Informasi yang paling baik, benar dan akurat adalah
infor-masi dari Al-Qur-an dan Sunnah yang shahih.
F.
Menilai Baik Diri Sendiri
maksudnya adalah merasa bangga
apabila dipuji dan merasa senang apabila mendengar orang lain memujinya.
Memang pujian manusia kepada Anda
merupakan kabar gembira yang disegerakan Allah Ta’ala bagi Anda. Diriwayatkan
dari Abu Dzarr Jundub bin Junadah (wafat th. 32 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia
berkata, “Ditanyakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
‘Bagaimana pendapat Anda tentang seseorang yang melakukan kebaikan, kemudian
manusia memujinya karena perbuatan tersebut?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam menjawab,
تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ.
“Itu adalah kabar gembira yang Allah segerakan bagi seorang
mukmin”.
Tetapi, berhati-hatilah jika Anda
merasa gembira ketika dipuji dengan apa yang tidak Anda miliki. Sekali lagi
berhati-hatilah agar hal ini tidak menimpa Anda. Ingatlah firman Allah Ta’ala
mengenai celaan-Nya terhadap suatu kaum,
وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا
لَمْ يَفْعَلُوا “...Dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang
tidak mereka lakukan...” [Ali ‘Imran: 188]
Kemudian ingatlah bahwa merasa diri
baik itu pada umumnya adalah perbuatan tercela, kecuali pada beberapa perkara
yang sesuai dengan aturan-aturan syari’at. Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ
أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui
tentang orang yang bertakwa.” [An-Najm: 32]
Begitu juga ingatlah celaan Allah
Ta’ala kepada Ahli Kitab,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ
يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ ۚ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلَا يُظْلَمُونَ
فَتِيلًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang menganggap dirinya suci? Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang
Dia kehendaki dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.” [An-Nisaa': 49]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ا أَنْفُسَكُمْ اَللهُ أَعْلَمُ
بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ لاَ تُزَكُّو
“Janganlah menganggap diri kalian suci, Allah lebih
mengetahui orang yang berbuat baik di antara kalian.”
Boleh saja seseorang merasa dirinya
baik dalam beberapa hal, sebagaimana telah kami sebutkan tadi. Misalnya
perkataan Nabi Yusuf ‘alaihis salaam,
خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ
عَلِيمٌ قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ
“Dia (Yusuf) berkata, ‘Jadikanlah aku bendaharawan (Mesir),
sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan”. [Yusuf: 55]
Tetapi pada umumnya merasa diri baik
dan suka dipuji adalah di antara pintu masuk syaitan kepada hamba-hamba Allah
Ta’ala. Karena itu, berhati-hatilah agar Anda tidak menjadi orang yang suka dan
bangga apabila dipuji dan jangan berusaha untuk mendengarkan pujian-pujian itu.
Apabila Anda ingin mengetahui bahaya
senang dipuji, perhatikanlah ketaatan Anda yang mulai menurun, lalu
perhatikanlah orang yang memuji Anda. Sungguh, seandainya ia mengetahui apa
yang tidak terlihat olehnya tentang diri dan amal Anda yang tidak diridhai
Allah Ta’ala, apakah ia akan tetap memuji Anda??
Pelajaran yang dapat dipetik di sini
adalah hendak-lah kita berhati-hati terhadap sikap menganggap baik diri
sendiri. Hendaklah kita berhati-hati dari perbuatan mencantumkan gelar pada
nama dengan gelar yang tidak kita miliki. Sebab, barangsiapa tergesa-gesa untuk
mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia tidak akan mendapatkannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setiap hat atau perbuatan itu
semuanya tergantung pada niat jika niat kita jelek maka kita juga akan dapat
hasil yang jelek dan jika niat kita baik dan lurus di jalan allah dan
semata-mata karna allah maka kita akan mendapatkan hasil yang baik sesuai
harapan islam dan juga harapan kita, sehingga kita akan mencapai hidup yang
tentram baik di dunia maupun di akhirat.
B.
Saran
Tuntutlah ilmu dengan niatan dan
dengan cara yang benar karena salah niat akan berakibat fatal bagi kita di masa
depan dan di akhirat.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Abdul Qadir, Yazid bin Jawas. 2007. Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan
Menuntut Ilmu”. Pustaka At-Taqwa. Bogor - Jawa Barat.
Ø Al-asyary, hasyim.1238H. Adabul Alim Wa Mutalim.
Ø Hadisaputra Ihsan, 1981, “Anjuran
untuk Menuntut Ilmu Pengetahuan Pendidikan dan Pengalamannya”. Al-Ikhlas
Surabaya.
Ø Az-zarnuji. 2009. Terjemah
Ta’alim Muta’allim. Mutiara ilmu.Surabaya.
Ø Ahmad ,Mochammad Jamaludin. 2010. Pendidikan .
Pustaka Al- Muhibbin. Jombang.
[1] Hadits
shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1, 54, 2529), Muslim (no. 1907), Abu
Dawud (no. 2201), at-Tirmidzi (no. 1647), an-Nasa-i (I/85-60, VI/158-159,
VII/13), dan Ibnu Majah (no. 4227) dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab
radhiyallahu ‘anhu.
[2]
Adabul alim wa mutalim. Hlm 24.
[3] Tadzkiratus
Saami’ wal Mutakallim (hal. 112).
[4] Jaami’
Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/748, no. 1376).
[5] Sunan
ad-Darimi (I/82).
[6] Lihat
kitab Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 20).
[7] Hadits
hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir, Abu Nu’aim
dalam Hilyatul Auliyaa’ (VII/136, no. 9922), dan Majma’uz Zawaa-id (VI/255).
Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 508).
[8] An-Nihaayah
fii Ghariibil Hadiits (II/516).
[9] Mohammad
ashim hadiq, Adabut ta’lim wal mutaallim
hlm. 23.
[10] Siyar
A’laamin Nubalaa’ (XI/210).
[11] Ishlaahul
Masaajid minal Bida’ wal ‘Awaa-id (hal. 110), karya al-‘Allamah Muhammad bin
Jamaluddin al-Qasimi rahimahullaah.
[12] Hadits
shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 631, 6008, 7246), dari Shahabat Malik
bin al-Huwairits radhiyallaahu ‘anhu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar